Petani Dukung Ekspor CPO Ditutup, eh Ada Tapinya...
Jakarta, CNBC Indonesia - Petani menyatakan dukungannya atas pelarangan sementara ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dan turunannya. Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto mengatakan, kebijakan ini akan berdampak bagi para petani sawit skala kecil yang menggantungkan hidupnya dari kelapa sawit di seluruh Indonesia.
Petani sawit skala kecil dimaksud, ujarnya, yang mengelola lahan kurang dari 4 ha dan tidak memiliki sumber pendapatan lain selain harga komoditas kelapa sawit.
Selain itu, kata dia, petani kecil tersebut tidak terhubung dengan pabrik pengolahan kelapa sawit. Artinya, setiap hari menjual ke tengkulak atau pengumpul buah sawit. Dimana, sejak dulu, selalu terdapat perbedaan harga bagi mereka sekitar 20% dari harga penetapan harga sawit.
"Maka dari itu, kebijakan larangan sementara ekspor ini akan memicu perbedaan harga yang makin besar hingga 60% dari harga penetapan pembelian TBS (tandan buah segar) sawit di tingkat provinsi yang mengacu kepada permentan No 1 tahun 2018," kata Darto dalam keterangan tertulis diterima CNBC Indonesia, Kamis (28/4/2022).
Karena itu, dia berharap pelarangan yang bersifat sementara ini benar-benar tidak membutuhkan waktu lama.
"Respons SPKS mendukung kebijakan ini, asalkan tidak terlalu lama dengan kisaran cukup 1 minggu atau 7 hari setelah ditetapkan kebijakan ini pada 28 April 2022. Dengan berbagai pertimbangan pendapatan petani kecil dan tata kelola sawit Indonesia," kata Darto.
Menurutnya, sejak diumumkannya pelarangan ekspor CPO tersebut, muncul praktik penerapan harga kelapa sawit di level pabrik kelapa sawit di daerah. Dengan harga yang bervariasi mulai Rp1.600/kg, Rp2.000/kg, bahkan masih ada yang menerapkan harga Rp3.000/kg.
"Kami melihat, terdapat perbedaan harga yang cukup tinggi dari semestinya dengan harga komparasi antara sekitar Rp3.600/kg hingga Rp3.700-an/kg. Pengusaha kelapa sawit telah mengambil keuntungan yang besar
antara Rp500/kg hingga Rp2.000-an/kg. Padahal nantinya mereka akan menjual Crude Palm Oil-nya dengan harga yang tinggi," ungkap Darto.
SPKS mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai tidak memberikan solusi jangka panjang atas krisis minyak goreng di Tanah Air.
"Pidato Bapak Presiden, tidak disertai dengan solusi jangka panjang. Sebab, kelangkaan minyak goreng adalah problem tata kelola sawit yang kronis yang tidak pernah disembuhkan pemerintah melalui restrukturisasi bisnis sawit yang oligopoli baik di hulu maupun hilir. Sebab, penguasa kebun sawit hingga produk hilir dan eksportir minyak sawit adalah orang-orang yang sama yang segelintir yang sejak dulu menerima manfaat dan perlindungan negara atas bisnis mereka di Indonesia," tukasnya.
"Baik BUMN ataupun koperasi petani, hanya sebagai objek penderita dari oligarki sawit dan bahkan menjadi penonton di tengah adanya program hilirisasi dalam negri melalui kebijakan biodiesel sawit," lanjut Darto.
Karena itu, SPKS mendorong penguatan BUMN agar memiliki industri hilir kelapa sawit baik minyak goreng maupun turunan lainnya.
(dce/dce)