Jokowi Larang Ekspor CPO, APBN Tekor Triliunan Rupiah

Maesaroh, CNBC Indonesia
25 April 2022 14:44
Dilarang Jokowi, Ini Negara Tujuan Ekspor Migor Terbesar RI
Foto: Infografis/Dilarang Jokowi, Ini Negara Tujuan Ekspor Migor Terbesar RI/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia diperkirakan kehilangan penerimaan negara dan pungutan ekspor hingga Rp 13 per triliun per bulan akibat kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO).

Presiden Joko Widodo hingga kini belum menjelaskan komoditas apa saja dari kelompok CPO yang akan dilarang ekspornya. Bank Mandiri memperkirakan produk CPO dan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) yang masuk dalam HS kode 1511.

Bank Mandiri memperkirakan penerimaan pungutan BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) yang akan hilang akibat dari larangan ekspor CPO mencapai Rp 9 triliun. Potensi kehilangan itu dengan menghitung volume ekspor sebesar 2,1 ton per bulan.

Sementara itu, ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro memperkirakan larangan ekspor CPO akan membuat Indonesia kehilangan penerimaan negara dalam bentuk bea keluar sebesar Rp 4 triliun per bulan.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan Bea Keluar hingga pada Januari-Maret 2022 mencapai Rp 8,62 triliun. Angka tersebut setara 80,5% dari total penerimaan bea keluar pada periode tersebut. Penerimaan terbesar dari komoditas turunan CPO yakni Rp 6,53 triliun.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengatakan pemerintah masih akan menghitung potensi kehilangan penerimaan dari larangan ekspor.
Sesuai ketentuan, pungutan ekspor memang tidak masuk ke APBN melainkan dikelola oleh BPDPKS. Namun, peruntukan dana tersebut tetap diatur melalui pemerintah, misalnya untuk peremajaan sawit dan subsidi minyak goreng.

Selain berdampak ke pungutan dan penerimaan, larangan ekspor CPO diperkirakan akan membuat ekspor jauh menurun dan menipiskan neraca perdagangan.
Berdasarkan hitungan Bank Mandiri, dengan menggunakan asumsi rata-rata ekspor CPO dan RBDPO sebesar 2,1 juta ton per bulan dan asumsi harga ekspor sebesar USD 1.300 per ton, maka potensi penurunan ekspor Indonesia adalah sekitar US$ 2,7 miliar per bulan mulai dari Mei 2022. Nilai tersebut setara dengan Rp 38,3 triliun rupiah. 

Nilai ekspor ekspor CPO dan RBDPO menembus US$ 26,3 miliar pada tahun lalu atau sekitar US$ 2,1 miliar per bulan. Pada Januari-Februari tahun 2022, ekspor CPO mencapai US$ 3,7 miliar, atau hanya sekitar US$ 1,8 miliar per bulan. Penurunan disebabkan oleh kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sehingga volume ekspor kelompok produk tersebut juga menurun.

Sebagai catatan, pada 1 Februari-14 Maret 2022, pemerintah sempat memberlakukan kewajiban DMO dan DPO (Domestic Price Obligation) untuk eksportir CPO.

Sementara itu, dalam hitungan Bahana Sekuritas, larangan ekspor CPO akan membuat Indonesia kehilangan nilai ekspor sebesar US$ 3 miliar atau sekitar Rp 42,6 triliun per bulan.  Namun, Satria memperkirakan kehilangan ekspor batu bara bisa ditutupi oleh komoditas lain.

Sebagai catatan, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 4,53 miliar di bulan Maret 2022 dan secara keseluruhan pada kuartal I tahun 2022 menembus US$ 9,33 miliar. Surplus salah satunya dibantu ekspor CPO yang terus melonjak sejak akhir tahun lalu.

China merupakan pasar terbesar CPO Indonesia dengan volume mencapai 4,1 juta ton dan nilai menembus US$ 4,25 miliar. India ada di urutan kedua dengan volume ekspor mencapai 3 juta ton dan nilai ekspor US$ 3,28 miliar.

Negara tujuan ekspor CPO  IndonesiaSumber: Bank Mandiri

Industry Analyst Bank Mandiri, Andrian Bagus Santoso, mengatakan larangan ekspor CPO akan membuat pasokan global terganggu. Pasalnya Indonesia merupakan produsen terbesar CPO di dunia. Indonesia memproduksi sekitar 46,9 juta ton CPO (21,1% dari total pasokan minyak nabati) pada 2021, di mana 54% diekspor dalam bentuk CPO dan RBDPO.

Produksi CPO Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang berada di urutan kedua dengan total 18,12 juta ton pada 2021. Kehilangan pasokan dari Indonesia tidak hanya mendongkrak harga CPO tetapi juga menyebabkan peningkatan permintaan untuk minyak nabati lainnya.

"Hal ini juga memperparah kondisi under supply di sektor minyak nabati global akibat berkurangnya pasokan sunflower seed oil dari Rusia dan Ukraina. Kami memperkirakan harga CPO global akan meningkat akibat kebijakan ini," tutur Andrian, dalam laporan Industry & Regional Brief.

Harga minyak sawit mentah melonjak di sesi pembukaan perdagangan pada hari ini, Senin (25/4/2022), setelah pemerintah Indonesia melarang ekspor. Mengacu pada data kepada Refinitiv, pukul 09:45 WIB harga CPO dibanderol di level MYR 6.584/ton atau melonjak 3,6%. Dengan begitu, harga CPO berhasil membukukan kenaikan sebanyak 61,83% secara tahunan.

Andrian memperkirakan harga CPO domestik justru akan cenderung menurun akibat berlimpahnya pasokan CPO di Indonesia. Sebagai catatan, ekspor CPO dan RBDPO pada Februari 2022 sebesar 1,5 juta ton. Di sisi lain kebutuhan domestik untuk sektor pangan (termasuk minyak goreng) hanya sekitar 0,5 juta ton pada periode yang sama.

Artinya akan ada kelebihan pasokan sebanyak tiga kali lipat dari kondisi normal yang harus diserap oleh pasar domesik atau kelebihan pasokan tersebut akan mengalami penurunan kualitas akibat terlalu lama disimpan.

"Larangan ekspor CPO juga akan membuat selisih harga domestik dengan internasional melebar. Selisih harga yang besar bisa memicu penyelundupan sehingga supply ke pasar domestik tidak dijamin tersedia karena harga di pasar domestik yang kurang menarik," kata Andrian.


Sementara itu, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta mengatakan kebijakan larangan ekspor harus diikuti dengan penegakan hukum. Pasalnya, kebijakan larangan ekspor bisa memicu ekspor ilegal karena selisih harga yang jauh.

"Pertanyaan pertama yang muncul adalah terkait enforcement, apakah pemerintah mampu menegakkan aturan ini? Awal Januari lalu batu bara sempat juga mau dilarang ekspor, namun pada akhirnya cuma DMO. CPO juga sebelumnya cuma DMO, tapi tidak berhasil. Ditakutkan larangan penuh akan mendorong rent-seeking dan ekspor ilegal," tuturnya, kepada CNBC Indonesia.

Aditya juga mengingatkan larangan ekspor belum tentu menurunkan harga minyak goreng dalam negeri turun. Pasalnya, banyak pelaku industri minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan produsen CPO.

"Artinya CPO yang melimpah tidak lantas berarti pasokan untuk minyak goreng naik juga, karena bisa saja ditahan. Perlu diingat juga bahwa porsi ekspor CPO kita itu besar. Artinya jika mendadak semuanya ditahan maka bisa oversupply, sementara kebutuhan domestik tidak sebesar itu," imbuh Aditya.

Aditya mengingatkan larangan ekspor bahkan bisa berimbas kepada petani sawit rakyat. Mereka dikhawatirkan akan merugi karena tidak bisa menjual buah sawit karena pasar oversupply.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular