
Jokowi Larang Ekspor CPO, APBN Tekor Triliunan Rupiah

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia diperkirakan kehilangan penerimaan negara dan pungutan ekspor hingga Rp 13 per triliun per bulan akibat kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Presiden Joko Widodo hingga kini belum menjelaskan komoditas apa saja dari kelompok CPO yang akan dilarang ekspornya. Bank Mandiri memperkirakan produk CPO dan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) yang masuk dalam HS kode 1511.
Bank Mandiri memperkirakan penerimaan pungutan BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) yang akan hilang akibat dari larangan ekspor CPO mencapai Rp 9 triliun. Potensi kehilangan itu dengan menghitung volume ekspor sebesar 2,1 ton per bulan.
Sementara itu, ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro memperkirakan larangan ekspor CPO akan membuat Indonesia kehilangan penerimaan negara dalam bentuk bea keluar sebesar Rp 4 triliun per bulan.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan Bea Keluar hingga pada Januari-Maret 2022 mencapai Rp 8,62 triliun. Angka tersebut setara 80,5% dari total penerimaan bea keluar pada periode tersebut. Penerimaan terbesar dari komoditas turunan CPO yakni Rp 6,53 triliun.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengatakan pemerintah masih akan menghitung potensi kehilangan penerimaan dari larangan ekspor.
Sesuai ketentuan, pungutan ekspor memang tidak masuk ke APBN melainkan dikelola oleh BPDPKS. Namun, peruntukan dana tersebut tetap diatur melalui pemerintah, misalnya untuk peremajaan sawit dan subsidi minyak goreng.
Selain berdampak ke pungutan dan penerimaan, larangan ekspor CPO diperkirakan akan membuat ekspor jauh menurun dan menipiskan neraca perdagangan.
Berdasarkan hitungan Bank Mandiri, dengan menggunakan asumsi rata-rata ekspor CPO dan RBDPO sebesar 2,1 juta ton per bulan dan asumsi harga ekspor sebesar USD 1.300 per ton, maka potensi penurunan ekspor Indonesia adalah sekitar US$ 2,7 miliar per bulan mulai dari Mei 2022. Nilai tersebut setara dengan Rp 38,3 triliun rupiah.
Nilai ekspor ekspor CPO dan RBDPO menembus US$ 26,3 miliar pada tahun lalu atau sekitar US$ 2,1 miliar per bulan. Pada Januari-Februari tahun 2022, ekspor CPO mencapai US$ 3,7 miliar, atau hanya sekitar US$ 1,8 miliar per bulan. Penurunan disebabkan oleh kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sehingga volume ekspor kelompok produk tersebut juga menurun.
Sebagai catatan, pada 1 Februari-14 Maret 2022, pemerintah sempat memberlakukan kewajiban DMO dan DPO (Domestic Price Obligation) untuk eksportir CPO.
Sementara itu, dalam hitungan Bahana Sekuritas, larangan ekspor CPO akan membuat Indonesia kehilangan nilai ekspor sebesar US$ 3 miliar atau sekitar Rp 42,6 triliun per bulan. Namun, Satria memperkirakan kehilangan ekspor batu bara bisa ditutupi oleh komoditas lain.
Sebagai catatan, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 4,53 miliar di bulan Maret 2022 dan secara keseluruhan pada kuartal I tahun 2022 menembus US$ 9,33 miliar. Surplus salah satunya dibantu ekspor CPO yang terus melonjak sejak akhir tahun lalu.
China merupakan pasar terbesar CPO Indonesia dengan volume mencapai 4,1 juta ton dan nilai menembus US$ 4,25 miliar. India ada di urutan kedua dengan volume ekspor mencapai 3 juta ton dan nilai ekspor US$ 3,28 miliar.
![]() |