Internasional

'Musuh dalam Selimut' AS Makin Menggila, Bukan Rusia-China?

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
15 April 2022 08:40
Tourists and visitors are unable to visit the National Christmas Tree near the White House due to its closure by the National Park Service because of the ongoing partial federal government shutdown, in Washington, U.S. December 22, 2018. REUTERS/Jonathan Ernst
Foto: Gedung Putih. REUTERS / Jonathan Ernst

Jakarta, CNBC Indonesia - Musuh dalam selimut Amerika Serikat (AS) makin jadi. Ini tidak ditujukan ke negara tapi ke inflasi.

Paman Sam mencatat inflasi tahunan tertinggi sejak Desember 1981. Data terbaru menunjukkan inflasi AS sebesar 8,5% pada Maret 2022, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7,9%.

Mengutip CNBC International, Biro Statistik Ketenagakerjaan AS, mencatat inflasi itu pun berada di atas ekspektasi dalam konsensus para ekonom sebesar 8,4%. Secara bulanan, inflasi Maret 2022 sebesar 1,2%, sama dengan ekspektasi para ekonom.

"Adapun, kenaikan harga bahan bakar, tempat tinggal, dan makanan menjadi kontributor utama kenaikan inflasi tersebut. Harga energi tercatat naik 32% dan harga makanan naik 8,8%, tertinggi sejak Mei 1981," tulis media itu.

Kondisi itu turut dipicu oleh gejolak geopolitik yang terjadi. Apalagi kalau bukan serangan Rusia ke Ukraina.

Data tersebut mencerminkan kenaikan harga yang belum pernah terlihat sejak stagflasi menghantam AS pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Akibat lonjakan inflasi tersebut, pendapatan riil yang sejatinya naik 5,6% pun belum dapat mengompensasi biaya hidup yang juga meningkat.

Adapun, tingginya inflasi ini menjadi perhatian Bank Sentral AS (The Fed) yang telah mengambil ancang-ancang untuk meningkatkan suku bunganya secara lebih agresif.

Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan The Fed bakal mendongkrak Federal Funds Rate sebanyak 2,5 poin persentase pada tahun ini. Jika terwujud, maka akan menjadi yang pertama sejak 1994.

Sebelumnya, tingginya inflasi ini juga membuat sebagian pihak meramalkan resesi di AS. Resesi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi kontraksi atau negatif dua kuartal atau lebih berturut-turut dalam setahun.

Setidaknya ini dikatakan Bank of America (BofA) dimuat FOx News. Kepala Strategi Investasi BofA Michael Hartnett memperingatkan bahwa lonjakan harga konsumen, dapat memicu penurunan ekonomi di AS, belum lagi ini dikombinasikan dengan bank sentral yang semakin hawkish, untuk melawan inflasi.

"'Kejutan inflasi' memburuk, 'kejutan harga' baru saja dimulai, 'kejutan resesi' datang," tulis Hartnett.

Resesi kemungkinan akan datang dalam dua tahun ke depan, sebagaimana dimuat The Hills. Meningkatnya inflasi dan rendahnya pengangguran, pandemi, masalah rantai pasokan, perang antara Rusia dan Ukraina dengan implikasi energi, ditambah gejolak pemilihan di AS dan di tempat lain- seperti Prancis- membayangi perkiraan secara kolektif.

Dalam survey Wall Street Journal, potensi resesi naik 28% dalam 12 bulan. Ini dibanding 18% pada Januari dan 13% pada tahun lalu.

"Resesi dalam beberapa tahun ke depan jelas lebih mungkin terjadi daripada tidak," kata Professor Harvard, Larry Summers, berbicara di Bloomberg TV.

"Kami tidak pernah memiliki momen ini, ketika inflasi di atas 4 (persen) dan pengangguran di bawah 4 (persen) dan kami tidak mengalami resesi di dalamnya. dua tahun ke depan."

"The Fed harus terampil ... beruntung untuk menghindarinya."


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article "Musuh dalam Selimut" AS Menggila, Bakal Nyebar ke Mana-mana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular