Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah harga komoditas pangan Indonesia melonjak dalam sebulan terakhir. Kenaikan dipicu meningkatnya harga komoditas di pasar internasional, faktor musiman, hingga kenaikan permintaan.
Beberapa barang yang harganya naik tajam di antaranya minyak goreng, daging sapi, gula pasir, hingga ikan segar. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga minyak goreng kemasan bermerk I sudah melesat 70,5% dalam setahun dari Rp 15.400/kg pada awal April tahun 2021 menjadi Rp 26.250/kg pada awal April tahun ini.
Harga minyak goreng sebenarnya sudah melonjak sejak akhir tahun lalu. Kenaikan harga minyak sawit mentah di pasar internasional membuat harga minyak goreng ikut melonjak. Harga CPO merangkak naik sejak Desember 2021 lalu dan menyentuh harga MYR 7.268/ton yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa.
Untuk meredam harga minyak goreng, pemerintah sempat memberlakukan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng mulai 1 Februari 2022. Namun, kebijakan tersebut justru membuat minyak goreng menghilang dari pasaran. Pemerintah akhirnya melepas harga minyak goreng sesuai harga pasar mulai 17 Maret lalu.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, pekan lalu, mengatakan pada Maret 2022, rata-rata harga minyak goreng mengalami penurunan. "Namun pada awal April 2022 harga minyak goreng kembali melejit naik bahkan menjadi lebih tinggi dari kondisi rata-rata pada Januari 2022," tutur Kepala BPS Margo Yuwono, dalam diskusi publik secara virtual bertajuk Harga Kian Mahal, Recovery Terganggu, Kamis (7/4/2022).
Selain minyak goreng, cabai merah juga terus merangkak naik sejak Maret di pasar-pasar tradisional Indonesia. Data PIHPSN menunjukkan harga cabai merah dalam setahun memang hanya naik 3,8% tetapi dalam seminggu terakhir harganya melesat 5,4%.
Catatan PIHPSN juga menunjukkan harga daging sapi selama setahun sudah naik 6% sementara gula pasir melonjak 6,7%.
Berdasarkan data BPS, harga komoditas pangan yang naik pada Januari hingga Maret adalah minyak goreng, ikan segar, beras, telur ayam ras, dan cabai rawit.
Ikan segar terus bahkan menjadi salah satu penyumbang inflasi, terutama untuk wilayah Indonesia Timur. Secara tahunan, ikan segar menyumbang inflasi sebesar 0,14% di Januari dan 0,08% di Maret.
 Sumber: BPS |
BPS juga mencatat banyak komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga menjelang Ramadhan yakni cabai merah, cabai rawit, cabai hijau, bawang putih, telur ayam ras, bawang merah, telur ayam ras, gula pasir, minyak goreng, daging kerbau, tepung terigu, daging sapi, roti tawar daging ayam ras, mie kering, mie basah, mie instan, sereal/havermut, tahu, dan tempe.
Harga tempe melonjak sejak Januari tahun ini hingga membuat perajin tempe melakukan mogok produksi dan berjualan pada akhir Februari lalu. Mereka mengeluhkan naiknya harga kedelai impor sehingga ongkos produksi menjadi mahal. Naiknya harga kedelai tidak bisa dipisahkan dari melonjaknya harga kedelai di pasar internasional.
Kementerian Pertanian mencatat, sekitar 86,4% kebutuhan kedelai disuplai dari negara lain. Nilai impor kedelai pada tahun 2021 menembus US$1,482 miliar, naik 479,4 juta atau 47,78% dibandingkan tahun sebelumnya.
Ketua Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan pemerintah sudah seharusnya memiliki contigency plan dalam mengamankan komoditas pangan dalam kondisi terburuk, termasuk perang. Contigency plan termasuk menemukan substitusi impor barang atau negara pemasok alternatif jika terjadi kondisi di luar dugaan.
Hariyadi menjelaskan impor bahan bangan juga perlu dilakukan bila benar-benar dibutuhkan atau ketersediaan di dalam negeri tidak mencukupi. Namun, impor tidak boleh menimbulkan kegaduhan sehingga harus dibangun komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
"(Pemerintah harus) memastikan kelancaran dan distribusi suplai pangan, khususnya di daerah yang krisis dari sisi jumlah penduduk," tutur Hariyadi dalam diskusi publik secara virtual bertajuk Harga Kian Mahal, Recovery Terganggu, Kamis (7/4/2022).
Dengan negara berbentuk kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mendistribusikan barang. Disparitas harga barang antar pulau juga bisa sangat jauh karena persoalan logistik.
Karena itulah, Hariyadi mengatakan kelancaran dan keterjangkauan biaya logistik pangan akan sangat menentukan wajar tidaknya kenaikan barang. Hariyadi juga meminta pemerintah untuk menindak tegas oknum-oknum yang manipulasi harga pasar. Oknum ini harus ditindak secara sungguh-sungguh untuk menimbulkan efek jera.
 Sumber: BPS |
Bank Mandiri dalam laporannya Global and Indonesia Economic Outlook 2022 juga mengingatkan pemerintah untuk lebih mendiversifikasi penyuplai komoditas pangan impor, seperti gandum. "Tekanan sisi supply dari gandum akan dapat meningkatkan tekanan pada inflasi domestik," tutur kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam laporan tersebut.
Ukraina menjadi salah satu pemasok gandum utama bagi Indonesia. Produk Ukraina yang banyak didatangkan di Indonesia pada 2021 adalah serealia, yang mencakup gandum, dengan nilai US$ 946,5 juta.
Untuk Januari-Februari 2022, komposisinya masih sama. Serealia masih dominan dengan nilai impor US$ 15,7 juta.
Khusus serealia, Ukraina adalah salah satu pemasok terbesar di Indonesia. Tahun lalu, serealia dari Ukraina menyumbang 23,23% dari total nilai impor komoditas tersebut. Nomor dua, hanya kalah dari Australia.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan pandemi Covid-19 menyebabkan banyak negara produsen menahan ekspor komoditas pangan mereka karena memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Tindakan ini membuat negara-negara pengimpor terancam kekurangan pasokan komoditas tertentu dan pada akhirnya dapat menyebabkan kelangkaan. Sementara itu, faktor perubahan cuaca juga turut berperan pada tersendatnya pasokan pangan dari negara produsen.
"Misalnya saja kedelai, yang impornya terdampak bencana di Amerika Serikat dan daging sapi, yang impornya disebut tersendat karena terdampak bencana kebakaran hutan di Australia beberapa waktu yang lalu," tutur Anna, dalam keterangan resmi.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan sistem yang dapat merespons kebutuhan impor pangan dengan cepat tanpa harus melewati proses panjang. Hal ini penting karena ketepatan waktu impor sangat berkaitan dengan harga, keterjangkauan masyarakat, dan masa panen petani.
Indonesia juga perlu menjajaki perdagangan dengan berbagai negara untuk memperbanyak opsi mitra dagang. Diversifikasi ini akan membantu mengurangi ketergantungan pasokan komoditas pada satu negara saja.
Indeks Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengalami kenaikan 17,1% di Maret menjadi 170,1 di Maret. Level tersebut adalah yang tertinggi sejak 1990. Kenaikan harga pangan komoditas dipicu oleh terganggunya pasokan dari Rusia-Ukraina.
Data komoditas pangan Bank Dunia per 4 April juga menunjukkan sejumlah komoditas pangan mengalami kenaikan mulai dari kedelai, kopi, hingga gandum.
Harga gandum dan kedelai bisa terus menanjak karena pasokan dari Australia dan Brasil terganggu.
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA, pekan lalu, memangkas proyeksi volume perdagangan gandum global untuk 2021-2022 menjadi 200,1 juta ton dari 203,1 juta ton pada proyeksi sebelumnya. USDA juga memangkas proyeksi produksi kedelai Brasil menjadi 125 metric ton, turun 2 metrik ton pada proyeksi sebelumnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA