Ramai-ramai Minta Tunda PPN Naik: Rakyat Sudah Menderita!

MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
Selasa, 15/03/2022 14:05 WIB
Foto: Cover topik/ Tarif PPN Naik_Konten

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan pemerintah untuk memungut pajak pertambahan nilai (PPN) lebih besar pada 1 April 2022 disarankan untuk ditunda. Alasannya rakyat kini sudah cukup menderita.

Berdasarkan Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif PPN yang diberlakukan adalah 11%, lebih tinggi dibandingkan saat ini yaitu 10%.Kenaikan tarif ini memang tidak diberlakukan untuk semua barang dan jasa. Ada pengecualian, khususnya bahan pokok hingga berbagai jenis jasa seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya.


Akan tetapi untuk barang seperti mie instan, pulsa, alat tulis, pakaian dan lainnya akan dikenakan tarif baru. Bukan barang pokok, namun masih bagian dari barang yang sering dikonsumsi masyarakat.

Langkah ini jelas menarik perhatian banyak pihak. Apalagi dalam kondisi sekarang di mana harga barang melejit sejak awal tahun. Ada minyak goreng, elpiji, ayam, daging sapi, telur, cabai rawit dan lainnya. Kondisi di mana masyarakat tengah menderita.

"Menaikkan PPN di tengah pemulihan ekonomi sekarang ini tidak tepat. Apalagi saat ini inflasi dalam trend meningkat. Kenaikan PPN akan menambah tekanan inflasi," terang Ekonom CORE Pitter Abdullah kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin, (15/3/2022)

Setiap kenaikan tarif pajak tentu akan memberikan dampak pada daya beli masyarakat. Bagaimana tidak, ini dikenakan terhadap hampir seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat kaya hingga miskin sekalipun.

Belajar dari pengalaman di Jepang, kenaikan tarif PPN akan langsung menurunkan konsumsi. Pada 1997, pemerintah Negeri Matahari Terbit menaikkan tarif PPN dari 3% jadi 5%. Hasilnya, konsumsi rumah tangga terkontraksi 0,76% pada 1998.

Pada 2014, tarif PPN kembali dinaikkan dari 5% menjadi 8% dan pada Oktober 2015 naik lagi jadi 10%. Pada 2016, konsumsi rumah tangga tumbuh -0,93%.

Mengutip laporan Japan Research Institute (JRI), kenaikan tarif PPN akan menaikkan harga barang dan jasa sebesar 0,9%. Ini akan membuat pengeluaran konsumen berkurang 0,6% dan berdampak 0,4% terhadap PDB.

Hal ini bukan tidak mungkin akan terjadi di Indonesia. Apalagi kini masih dalam proses pemulihan ekonomi akibat pandemi covid-19. "Daya beli masyarakat turun, yang ujungnya pemulihan ekonomi tertahan," kata Piter.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah meminta pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mempertimbangkan ulang. Sekalipun pemerintah membutuhkan uang, coba diseleksi lagi barang dan jasa yang dikenakan tarif baru.

"Memberlakukan kebijakan kenaikan PPN 11 persen secara selektif," ungkap Said kepada CNBC Indonesia

"Terhadap barang barang konsumsi strategis seperti BBM, dan bahan pangan impor yang harganya sedang tinggi, pemerintah perlu menimbang kenaikan tarif PPN 11 persen. Sebagai ganti kekurangan penerimaan PPN terkait hal ini, pemerintah dapat menggunakan ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU HPP untuk menaikkan PPN diatas 11 persen terhadap barang kena PPN lainnya," paparnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Anggota Komisi XI Misbakhun. Sejak awal, menurutnya DPR sudah ingatkan pemerintah bahwa kebijakan ini akan membebani masyarakat, terutama ketika pemulihan ekonomi dari pandemi covid masih dini.

DPR memberikan dukungan, karena pemerintah bersikeras agar kebijakan ini direalisasikan untuk meningkatkan penerimaan negara.

"Penundaan kembali ke pemerintah karena yang meminta itu dulu pemerintah dan DPR memberikan persetujuan dengan penguatan persetujuan politiknya lewat UU. Sehingga mekanisme berikut penuh menjadi hak pemerintah sebagai pelaksana UU," tegas Misbakhun.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Kebijakan PPN DTP Berhasil, Pelaku Industri Minta Tak Dikurangi