RI Mau Bangun PLTN? Cermati Dulu Kejadian di Fukushima Jepang

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Jumat, 11/03/2022 16:10 WIB
Foto: Pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Dai-ichi. (AP Photo/Jae C. Hong)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini dalam sejarah 11 tahun lalu, atau tepatnya 11 Maret 2011 gempa berkekuatan 8 SR menerpa wilayah Tohoku di Jepang. Hal ini juga membuat kerusakan cukup parah pada pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi.

Setelah 11 tahun Fukushima, perdebatan pembangkit listrik tenaga nuklir telah dihidupkan kembali dan dipertimbangkan dalam rancangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang akan datang, serta rencana energi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Profesor ahli nuklir asal Jepang sekaligus Wakil Direktur Research Center for Nuclear Weapons Abolition (RECNA), Tatsujiro Suzuki mengungkapkan kecelakaan nuklir Fukushima benar-benar mengubah sektor energi di Jepang.


Energi nuklir kini, kata Suzuki bulan lagi menjadi sumber daya paling andal dan utama di Jepang, bahkan akibat kecelakaan itu belum berakhir hingga saat ni.

"Kecelakaan Fukushima belum berakhir. Dekomisioning dari ledakan nuklir berdampak terhadap ekonomi, sosial, dan kemanusiaan yang juga sangat besar," jelas Suzuki dalam sebuah webinar yang diselenggarakan IESR, Jumat (11/3/2022).

Di Jepang saat ini, aliran air yang mengalir dan yang dikonsumsi masyarakat harus didesain untuk dipisahkan dari aliran 'air tritium' yang dikeluarkan dari fasilitas nuklir, yang kemungkinan mengandung bahan radioaktif.

Survey yang dilakukan di Jepang membuktikan bahwa 55% publik tidak percaya terhadap pengolahan air tritium yang dilakukan. Tercatat, hingga April 2021 sebanyak 35.500 warga yang bertempat tinggal di dekat kejadian PLTN Fukushima memutuskan untuk mengungsi.

Kata Suzuki, menurut survei terbaru, hanya 2,5% orang yang kembali ke Kota Okuma dan 9,2% ke Kota Tomioka, kota dengan radius terdekat dengan lokasi ledakan di wilayah PLTN Fukushima.

"Sementara pemerintah jepang terus mencabut perintah pembatasan untuk kota yang terkena dampak," tuturnya.

Adapun hingga April 2021, 76% dari total 14 juta meter kubik (m3) tanah telah terkontaminasi dari bahan nuklir. Menyebabkan tanah harus diproses melalui berbagai tahap pengurangan volume sebelum diangkut kembali ke tempat penyimpanan akhir.

Dampak pengeluaran atau belanja negara yang harus dikeluarkan oleh pemerintah Jepang terhadap ledakan PLTN Fukushima juga terbilang besar, diperkirakan naik dari US$ 202,17 miliar pada 2012 menjadi US$ 223,1 miliar pada 2021.

Di sisi lain, Japan Center for Economic Research (JCER) memperkirakan, biaya untuk menanggulangi ledakan PLTN Fukushima mencapai US$ 322 miliar hingga US$ 719 miliar tergantung pada skenario.

"Dekontaminasi diperkirakan mencapai US$186 miliar dan kompensasi US$96 miliar. Sementara biaya penghentian bervariasi dari US$40 miliar (jika ditunda hingga 2050, tidak termasuk biaya pasca kecelakaan sampai 2050) dengan estimasi sebesar US$476 miliar," jelas Suzuki.

"Perbedaan terbesar antara perkiraan pemerintah dan JCER berasal dari fakta bahwa perkiraan resmi, tidak termasuk biaya pembuangan akhir untuk limbah radioaktif yang dihasilkan oleh dekomisioning dan dekontaminasi," kata Suzuki melanjutkan.

Seperti diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah melakukan kerjasama dalam persiapan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Kerjasama itu dilakukan dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) atau Badan Tenaga Atom Internasional.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tahun 2014 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia Di Bidang Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika, juga menyebut bahwa pembangkit tenaga nuklir merupakan pilih terakhir untuk memenuhi kebutuhan energi di tanah air.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: ESDM Selidiki Longsor Maut Tambang Gunung Kuda Cirebon