Butuh GDP US$ 10.000 Untuk RI Bangun PLTN, Sanggup?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
11 March 2022 15:20
In this Feb. 12, 2020, photo, the Unit 1 and 2 reactor buildings, damaged by the 2011 earthquake and tsunami, are seen at the Fukushima Dai-ichi nuclear power plant in Okuma, Fukushima Prefecture, Japan. Nine years ago, on March 11, 2011, a magnitude 9.0 quake and tsunami destroyed key cooling functions at the plant, causing a meltdown that leaked a massive amount of radiation and forcing some 160,000 residents to evacuate. About 40,000 of them still haven't returned. (AP Photo/Jae C. Hong)
Foto: Pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Dai-ichi. (AP Photo/Jae C. Hong)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia kaya akan sumber daya energi, baik itu berasal fossil fuel hingga energi baru terbarukan (EBT). Jumlahnya bahkan melebihi kebutuhan 2050, bahkan tercatat bisa mencukupi kebutuhan energi hingga tahun 2100.

Salah satu pembangkit energi hijau yang kabarnya akan menjadi andalan Indonesia adalah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Pemerintah bahkan sempat menyinggung bahwa pembangkit nuklir akan menjadi solusi untuk mengejar netral karbon di tahun 2060.

Namun untuk mengembangkan pembangkit nuklir itu tidak mudah. Dewan Energi Nasional (DEN) mencatat, Indonesia memerlukan Growt Domestic Product (GDP) mencapai US$ 10.000 per kapita. Alasannya, potensi kecelakaan nuklir sangat besar dan bis mempengaruhi kondisi perekonomian.

Pengamat Energi Universitas Indonesia sekaligus Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim biaya PLTN di masa sekarang dan masa depan diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan pembangkit EBT.

"Menggunakan hydro, geothermal dan juga biaya energi solar dan angin di masa depan, dengan storage pun bisa lebih murah dibandingkan dengan nuklir," jelas Herman dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh IESR, Jumat (11/3/2022).

Selain itu, kata Herman, dibutuhkan investasi yang besar untuk membangun PLTN di Indonesia hingga operasionalnya membutuhkan alat dan bahan yang harus diimpor. Serta sumber daya atau ahli yang juga harus mumpuni.

Indonesia juga dinilai sangat rentan terhadap bencana alam yang bisa membuat ledakan yang cukup besar, seperti yang pernah terjadi di Jepang pada 11 Maret 2011 silam.

Di mana saat itu Jepang mengalami gempa kekuatan 9 SR yang mengguncang wilayah Tohoku, timur laut pulau Honshu. Hal ini membuat kerusakan yang cukup parah pada PLTN Fukushima Daiichi. Dalam waktu beberapa hari, tiga reaktor nuklir utama meledak.

Tidak ada korban jiwa akibat ledakan nuklir tersebut, namun Jepang tetap menerima pukulan hebat karena lebih dari 18.000 orang yang kehilangan nyawa akibat gempa bumi dan tsunami.

"Indonesia sangat rentan terhadap gempa dan risiko kecelakaan nuklir. Dampaknya terhadap ekonomi itu bisa sangat besar sekali, karena GDP Indonesia masih sangat rendah," ujarnya.

Jepang saja dengan GDP US$ 48.168 per kapita pada 2011 tersebut dampaknya masih dirasakan hingga sekarang. Indonesia pun diminta untuk mempertimbangkan dengan sangat matang jika ingin membangun PLTN.

"Jepang dengan Fukushima pun berat, walaupun sudah punya GDP yang tinggi. Tapi bagi Indonesia ini akan sangat berat," tuturnya.

Dirinya pun pernah berbincang dengan Gubernur Bank Indonesia (periode 2008-2009) sekaligus Wakil Presiden RI (2009-2014), Boediono yang mengatakan bahwa jika Indonesia ingin mebangun pembangkit nuklir di dalam negeri, setidaknya harus memiliki GDP sebesar US$ 10.000 per kapita.

"Saya pernah dengar dari Pak Boediono, kalau gak salah ketika itu, kalau punya nuklir, Indonesia GDP-nya harus US$ 10.000 per kapita," ujarnya.

Sementara, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), GDP per kapita di Indonesia pada 2021 baru mencapai US$ 4.349,5.

Lagi pula, menurut Herman PLTN bukan tenaga listrik yang murah. Jepang sejak pasca kecelakaan Fukushima sudah tidak lagi menjadikan PLTN sebagai opsi pembangkit di negaranya, bahkan untuk jangka panjang sekalipun.

Dari kajian yang dilakukan Herman secara pribadi, tercatat bahwa Levelized Cost Electricity (LCoE) untuk pembangkit nuklir harganya kini berkisar 13 sen VSO/kWh hingga 20 sen VSO/kWh.

Sementara berdasarkan salah satu studi di Eropa, LCoE untuk pembangkit EBT, baik dari solar dan angin hanya sebesar 5 sen VSO/kWh hingga 6 sen VSO/kWh.

"Jadi intinya, nuklir tidak murah lagi. Jepang bahkan mengindikasikan gak akan banyak menggunakan PLTN dalam jangka panjang," jelasnya.

Sebagai gambaran, LCoE adalah ukuran rata-rata biaya pada nilai saat ini dari pembangkitan listrik yang dihasilkan oleh suatu aset selama masa pakainya, umumnya digunakan untuk membandingkan biaya antar teknologi pembangkit listrik yang berbeda.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ahli Nuklir Jepang: PLTN Tak Lagi Dapat Diandalkan dan Mahal!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular