Ada beberapa indikator yang membuktikan daya beli rakyat mulai membaik. Pertama, kemarin Bank Indonesia (BI) merilis data penjualan ritel yang hasilnya cukup impresif.
Penjualan ritel yang dicerminkan dengan Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Januari 2022 tercatat 209,6. Naik 15,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy), rekor tertinggi sejak April tahun lalu.
Untuk Februari 2022, BI memperkirakan IPR sebesar 202,8. Secara bulanan (month-to-month/mtm) memang turun 3,2%, tetapi secara tahunan tetap tumbuh 14,5%.
Kedua, laju inflasi inti terus terakselerasi. Pada Februari 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi inti 2,03% yoy. Ini adalah yang tertinggi sejak Juli 2020.
Inflasi inti adalah kelompok harga barang dan jasa yang harganya susah naik-turun alias persisten. Jika harga barang dan jasa yang persisten saja naik terus, maka bisa disimpulkan masyarakat punya daya beli yang kuat.
Ini tentu menjadi kabar gembira bagi perekonomian nasional. Sebab, lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga. Saat konsumsi melesat, pertumbuhan ekonomi akan ikut terdongkrak.
Akan tetapi, ada tantangan yang bisa menjegal laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Mulai 1 April 2022, pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%, seperti amanat Undang-undang Harmonisasi Perpajakan pasal 7 ayat (1) huruf a. Di huruf b, tarif PPN ditetapkan naik lagi menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
PPN adalah pajak yang dibayarkan saat terjadi transaksi. Harga barang dan jasa ditambahkan PPN, yang dibayarkan oleh konsumen. Jadi kalau tarif PPN naik, maka otomatis harga barang dan jasa akan ikut naik.
Belajar dari pengalaman di Jepang, kenaikan tarif PPN akan langsung menurunkan konsumsi. Pada 1997, pemerintah Negeri Matahari Terbit menaikkan tarif PPN dari 3% jadi 5%. Hasilnya, konsumsi rumah tangga terkontraksi 0,76% pada 1998.
Pada 2014, tarif PPN kembali dinaikkan dari 5% menjadi 8% dan pada Oktober 2015 naik lagi jadi 10%. Pada 2016, konsumsi rumah tangga tumbuh -0,93%.
Mengutip laporan Japan Research Institute (JRI), kenaikan tarif PPN akan menaikkan harga barang dan jasa sebesar 0,9%. Ini akan membuat pengeluaran konsumen berkurang 0,6% dan berdampak 0,4% terhadap PDB.
Halaman Selanjutnya --> Perang Kerek Harga Barang
Rencana kenaikan tarif PPN juga datang pada saat yang tidak tepat, yaitu perang Rusia vs Ukraina. Perang ini menyebabkan harga komoditas global melonjak.
Di sisi migas harga minyak dunia naik luar biasa. Dalam sebulan terakhir, harga minyak jenis brent naik 15,35% secara point-to-point. Selama setahun terakhir, harga meroket 56,4%.
Ini karena Rusia adalah produsen minyak terbesar ketiga dunia, hanya kalah dari Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi. Serangan Rusia ke Ukraina membuat Negeri Beruang Merah terkena sanksi, salah satunya larangan ekspor minyak.
Sepanjang perang Rusia-Ukraina masih berkecamuk, maka persoalan pasokan akan terus menghantui. Tidak heran harga naik tinggi sekali.
Di sisi pertambangan, harga batu bara pun melambung jauh terbang tinggi. Dalam sebulan terakhir, harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) melejit 71,32%. Selama setahun terakhir, harga meroket 341,66%.
Tingginya harga minyak (dan gas alam) membuat dunia kembali berpaling ke batu bara sebagai sumber energi primer, terutama untuk pembangkit listrik. Perburuan terhadap batu bara membuat harga melesat.
Di sisi pangan, harga juga naik pesat. Harga kedelai, misalnya, naik 7,96% dalam sebulan terakhir dan 20,91% selama setahun ke belakang. Kemudian harga gandum melonjak 32,15% selama sebulan dan 64,24% dalam setahun. Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) naik 24,91% selama sebulan dan 71,45% dalam setahun.
Harga produk pertanian seperti kapas pun melonjak. Dalam setahun terakhir, harga kapas mencatatkan kenaikan 32,27%.
Halaman Selanjutnya --> Harga Dunia Naik, Harga Lokal Sudah Terungkit
Kenaikan harga berbagai komoditas tersebut memang terjadi di pasar internasional. Namun pada saatnya akan merasuk ke perekonomian nasional.
Minyak goreng, misalnya. Kenaikan harga CPO, bahan baku minyak goreng, membuat harga produk itu melesat.
Mengutip catatan Pusat Informasi Harga Strategis (PIHPS), harga minyak goreng kemasan bermerk I per 10 Maret 2022 adalah Rp 20.600/kg. Ini adalah yang termahal sejak 28 Januari 2022.
Tingginya harga CPO dunia membuat produsen lebih memilih menjual hasil panen ke luar negeri. Akibatnya, pasokan CPO domestik menipis sehingga mempengaruhi produksi minyak goreng. Tidak hanya mahal, kini minyak goreng juga menjadi barang langka di pasaran.
Selain CPO, kenaikan harga gandum juga bakal berdampak kepada wong cilik. Jadi saat harga gandum melonjak gara-gara konflik di Ukraina, maka jangan kaget kalau harga sejumlah kebutuhan pokok bakal ikut naik. Dalam beberapa waktu ke depan, mungkin harga mie, roti, dan sereal akan terkerek.
"Makanan pokok di Indonesia adalah nasi. Namun gandum dan kedelai juga banyak dikonsumsi karena menjadi bahan baku untuk makanan seperti mie, roti, dan tahu. Meski secara umum Rusia dan Ukraina tidak terlalu berkontribusi terhadap perdagangan internasional, tetapi Ukraina menyumbang sekitar 26% dari impor gandum Indonesia," sebut Helmi Arman, Ekonom Citi, dalam risetnya.
Kalau ini benar-benar terjadi, maka dampaknya juga akan dirasakan oleh penduduk miskin di Tanah Air. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, mie instan adalah salah satu komoditas pangan yang banyak dikonsumsi oleh rakyat miskin.
Pada September 2021, mie instan menyumbang 2,56% dari garis kemiskinan di perkotaan sedangkan di perdesaan kontribusinya 2,29%. Sementara kontribusi roti terhadap garis kemiskinan di perkotaan adalah 1,76% dan di perdesaan 1,7%.
"Dampak inflasi akibat perang tidak bisa dikesampingkan. Produk gandum dan kedelai, bersama minyak goreng, menyumbang 3-4% terhadap Indeks Harga Konsumen. Ini hampir sama dengan beras. Jadi kenaikan harga produk-produk tersebut bisa menaikkan inflasi Indonesia lebih dari 0,04 poin persentase," lanjut Helmi.
Sayangnya, potensi kenaikan harga ini akan dibarengi dengan kenaikan tarif PPN mulai bulan depan. Harga barang yang sudah mahal bakal lebih mahal lagi. Kasihanilah rakyat, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Kenaikan harga komoditas gara-gara perang di luar dari kendali kita. Walaupun perang usai, sanksi terhadap Rusia tidak bisa langsung dicabut. Perlu proses, perlu negosiasi, perlu diplomasi.
Namun tarif PPN adalah hal yang masih dalam kendali, pemerintah bisa melakukan sesuatu untuk melindungi daya beli rakyat. Penundaan kenaikan tarif PPN mungkin adalah jalan paling bijak.
TIM RISET CNBC INDONESIA