Harga Minyak Nyaris US$ 140/Barel, Momentum Perubahan APBN?

Pratama Guitarra, CNBC Indonesia
Senin, 07/03/2022 17:25 WIB
Foto: Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto (Tangkapan Layar)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia terus mengalami lonjakan dalam beberapa hari terakhir ini. Melansir data Refinitv, pada Senin pagi (7/3/2022) saja, harga minyak mentah jenis Brent tercatat melonjak hingga nyaris menembus US$ 140 per barel, tepatnya US$ 139,13 per barel.

Sejatinya, tingginya harga minyak dunia itu berimbas kepada harga bahan bakar minyak (BBM) di tanah air. Belum lama ini, pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) telah menaikan harga BBM non subsidi-nya. Hal itu diklaim untuk mengurangi tekanan atas anggaran Pertamina atas pembelian harga minyak mentah dunia yang sedang mendidih itu.

Tak hanya minyak mentah saja yang naik, harga gas melalui harga Contract Price Aramco (CPA) mencapai US$ 775 per metrik ton. Hal ini mempengaruhi harga Liquefied Petroleum Gas (LPG), yang mana Pertamina juga sudah mengerek naik harga LPG non subsidi tersebut.


Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto menyampaikan, tingginya harga-harga komoditas termasuk minyak dan gas menjadi momentum bagi pemerintah dan DPR untuk kembali duduk bersama membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP).

"Saya rasa ini momentum, beberapa tahun terakhir tidak ada APBNP. Jadi ini momentum bagi pemerintah dan parlemen perlu duduk lagi perlu APBNP atau tidak," ungkap Djoko kepada CNBC Indonesia, Senin (7/3/2022).

Seperti yang diketahui, dalam APBN 2022 subsidi energi mencapai sebesar Rp 134,02 triliun. Anggaran subsidi energi terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG Tabung 3 kilogram (kg) sebesar Rp 77,54 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 56,47 triliun.

Djoko belum mengetahui apakah subsidi dalam APBN akan diubah oleh pemerintah berkenaan dengan melonjaknya harga minyak dan gas. Namun ia bilang bahwa pihaknya sudah menyampaikan adanya perubahan.

"Ini baru Maret kan. Anggaran susbsidi itu diketok untuk satu tahun dan ini belum terpenuhnya terserap. Berharap perang ini akan berakhir dan masih mencukupi dan masih bisa aman (subsidinya). Kalau misalnya perang berkelanjutan dan perlu evaluasi, agar anggaran subsidi sudah melampaui budgetnya. nanti tergantung situasi ke depannya," tandas Djoko.

Di sisi lain, Djoko mengungkapkan, situasi saat ini sangat memberatkan khususnya bagi PT Pertamina (Persero).

Pasalnya, Pertamina harus menyediakan liquefied petroleum gas (LPG), bahan bakar minyak (BBM), dan membeli crude atau bahan baku yang harus menggunakan dolar Amerika Serikat. Hal ini tentu berimbas terhadap tekanan rupiah di dalam negeri.

"Jadi, barang-barang bisa mahal, sehingga perekonomian bisa terganggu efeknya. Namun Pertamina untuk non subsidi agar tidak memberatkan ke masyarakat, maka terus menyesuaikan harganya," jelas Djoko, Senin (7/3/2022).

Sejauh ini, kata Djoko harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat masih terkendali. Yang dikhawatirkan, jika harga kebutuhan pokok naik, terlebih Indonesia akan menghadapi bulan Ramadhan bulan depan, inflasi juga akan ikut terkerek.

Djoko berharap peperangan Rusia dan Ukraina bisa segera berhenti.

"Kita berharap sebetulnya perang ini tidak berlama-lama. Sebab kalau itu berlama-lama, maka kita belum tau nih April-Mei seperti apa. Menjelang puasa dan lebaran. Namun sampai Maret masih terkendali," tuturnya.

"Tapi, kalau berkepanjangan dengan harga minyak meningkat, harga LPG meningkat akan menyulitkan bagi Pertamina dan masyarakat," kata Djoko melanjutkan.

Di satu sisi, kata Djoko, kenaikan harga barang komoditas, khususnya minyak dunia saat ini membawa keuntungan atau cuan bagi keuangan negara.

"Bagi negara, setiap kenaikan minyak US$ 1 itu ada windfall profit, hitung-hitungan BRI (Bank Rakyat Indonesia) setahun bisa Rp 140 miliar," jelas Djoko.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bayang-Bayang Krisis Energi di Tengah Konflik Israel-Iran