Bahaya! Ini Efek Ngeri Perang Berkepanjangan Buat RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Eskalasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina belum juga menemukan adanya titik terang dan belum bisa diprediksi kapan akan berakhir. Ini tentu menjadi ancaman serius bagi dunia, tak terkecuali Indonesia.
Seperti diketahui, saat ini harga komoditas kompak melonjak di tengah sentimen perang Rusia dan Ukraina yang dikhawatirkan dapat mengancam krisis energi dunia.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto mengungkapkan, situasi saat ini sangat memberatkan khususnya bagi PT Pertamina (Persero).
Pasalnya, Pertamina harus menyediakan liquefied petroleum gas (LPG), bahan bakar minyak (BBM), dan membeli crude atau bahan baku yang harus menggunakan dolar Amerika Serikat. Hal ini tentu berimbas terhadap tekanan rupiah di dalam negeri.
"Jadi, barang-barang bisa mahal, sehingga perekonomian bisa terganggu efeknya. Namun Pertamina untuk non subsidi agar tidak memberatkan ke masyarakat, maka terus menyesuaikan harganya," jelas Djoko, Senin (7/3/2022).
Sejauh ini, kata Djoko harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat masih terkendali. Yang dikhawatirkan, jika harga kebutuhan pokok naik, terlebih Indonesia akan menghadapi bulan Ramadhan bulan depan, inflasi juga akan ikut terkerek.
Djoko berharap peperangan Rusia dan Ukraina bisa segera berhenti.
"Kita berharap sebetulnya perang ini tidak berlama-lama. Sebab kalau itu berlama-lama, maka kita belum tau nih April-Mei seperti apa. Menjelang puasa dan lebaran. Namun sampai Maret masih terkendali," tuturnya.
"Tapi, kalau berkepanjangan dengan harga minyak meningkat, harga LPG meningkat akan menyulitkan bagi Pertamina dan masyarakat," kata Djoko melanjutkan.
Di satu sisi, kata Djoko, kenaikan harga barang komoditas, khususnya minyak dunia saat ini membawa keuntungan atau cuan bagi keuangan negara.
"Bagi negara, setiap kenaikan minyak US$ 1 itu ada windfall profit, hitung-hitungan BRI (Bank Rakyat Indonesia) setahun bisa Rp 140 miliar," jelas Djoko.
Adapun, berdasarkan hitungan Tim Riset CNBC Indonesia, belanja negara akan naik Rp 2,6 triliun tetapi pendapatan negara naik lebih tinggi yaitu Rp 3 triliun. Dengan demikian secara neto ada 'keuntungan' Rp 400 miliar.
Asumsi harga minyak dalam APBN 2022 adalah US$ 63/barel. Jika rata-rata harga minyak sepanjang tahun ini bisa US$ 100/barel, maka ada selisih US$ 37/barel.
Kalau setiap kenaikan US$ 1 bisa menambah pundi-pundi kas negara sebesar Rp 400 miliar, maka selisih US$ 37/barel akan membuat APBN yang dikelola Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati 'cuan' Rp 14,8 triliun.
Rinciannya pendapatan negara akan naik sebesar Rp 111 triliun dan belanja negara akan meningkat Rp 96,2 triliun. Keuntungan tersebut belum termasuk dampak dari lonjakan harga komoditas internasional selain migas.
(pgr/pgr)