
Ancaman Krisis Energi Dunia & Ramalan Ngeri Buat RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang antara Rusia dan Ukraina benar-benar memiliki dampak yang sangat luas. Khususnya atas terjadinya gangguan pasar energi berskala besar dan bisa memicu terjadinya krisis minyak seperti yang terjadi pada era 1970-an.
Maklum saja itu bisa terjadi, karena Rusia adalah salah satu negara pengekspor minyak terbesar di dunia. Saat ini tercatat Rusia mengekspor minyak mentahnya sekitar 7,5 juta barel hari minyak dan produk olahannya. Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua IHS Markit Daniel Yergin.
Apakah gangguan pasar minyak global itu akan mempengaruhi Indonesia yang saat ini adalah sebagai negara net importir atau tercatat melakukan kegiatan impor minyak sebanyak 500 ribu barel?
Seperti diketahui, bahwa saat ini negara-negara pendukung Ukraina termasuk Amerika Serikat (AS) memberikan sanksi terhadap sistem keuangan Rusia. Hal itu yang kemungkinan akan memicu reaksi terhadap minyak mentah Rusia dari bank, pembeli, dan pengirim, meskipun energi Rusia tidak dikenakan sanksi oleh AS dan negara-negara lain.
Namun, kata Yergin, kemungkinan ada kerugian besar dari penjualan minyak Rusia yang diekspor sekitar 7,5 juta barel per hari minyak dan produk olahan.
"Ini akan menjadi gangguan yang sangat besar dalam hal logistik, dan orang-orang akan berebut minyak," kata Yergin, seperti dikutip dari CNBC International, Jumat (04/03/2022).
"Ini adalah krisis pasokan. Ini adalah krisis logistik. Ini adalah krisis pembayaran, dan ini bisa terjadi seperti krisis pada skala tahun 1970-an," tuturnya. Dia mengatakan, komunikasi yang kuat antara pemerintah yang memberlakukan sanksi dan industri dapat mencegah skenario terburuk tersebut.
Dia mencatat bahwa anggota NATO menerima sekitar setengah dari ekspor minyak Rusia. "Beberapa bagian dari itu akan terganggu," kata Yergin.
Disamping itu, JP Morgan memperkirakan bahwa 66% minyak Rusia sedang berjuang untuk menemukan pembeli, dan bahwa harga minyak mentah diperkirakan bisa mencapai US$ 185 pada akhir tahun jika minyak Rusia tetap terganggu.
"Ini bisa menjadi krisis terburuk sejak embargo minyak Arab dan revolusi Iran pada 1970-an," kata Yergin. Kedua peristiwa tersebut merupakan kejutan bagi industri minyak pada dekade itu.
Yergin mengatakan, gangguan akan datang ketika pasokan di pasar sudah sangat ketat. Negara-negara pengekspor minyak (OPEC+), aliansi antara OPEC, Rusia dan lainnya, pada Rabu telah memutuskan untuk melanjutkan rencana produksi mereka saat ini.
Mereka mengembalikan sekitar 400.000 barel per hari ke pasar setiap bulan sampai mencapai target pada bulan Juni.
Pengamat Energi dan Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, mengingat ketergantungan BBM sangat besar, Indonesia berpotensi terjadi krisis energi di tengah kelangkaan pasokan dan harga yang sangat mahal.
"Sebagai net importer ketergantungan terhadap crude dan BBM impor sangat tinggi. Potensi terjadinya krisis energi untuk Indonesia bisa terjadi di tengah kelangkaan pasokan dan harga yang sangat mahal. Solusinya adalah mengurangi ketergantungan dengan meningkatkan produksi crude dan BBM," ungkap Fahmy kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/3/2022).
Dia mengatakan, fluktuasi harga minyak dunia uncomfortable by Pemerintah. Langkah controllable yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan lifting Migas, dengan target 1 juta barrel per hari dan percepatan pembangunan kilang untuk mengurangi ketergantungan impor pasokan minyak mentah dan BBM impor.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article SKK Migas Meramal: Jangka Pendek Harga Minyak Masih Tinggi
