
Gawat! Asia Terancam Stagflasi Gegara Perang Rusia Vs Ukraina

Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara di kawasan Asia kini terancam alami stagflasi. Situasi ini disebabkan ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina dalam beberapa waktu terakhir.
"Kita tetap mempertahankan pandangan konstruktif terhadap outlook Asia. Namun, ketegangan geopolitik akan memberikan dorongan stagflasi," tulis Chetan Ahya dan tim Analyst dari Morgan Stanley dalam risetnya bertajuk Geopolitical Tension: Transmission Channels, Implications and Responses, dikutip Selasa (1/3/2022)
Stagflasi adalah istilah untuk fenomena ekonomi di mana harga naik (inflasi tinggi), tetapi aktivitas bisnis mengalami stagnasi, yang menyebabkan tingginya pengangguran dan berkurangnya daya beli konsumen.
Fenomena stagflasi pertama kali dikenali pada tahun 1970-an, ketika kenaikan harga minyak menyebabkan harga yang lebih tinggi dalam jangka waktu yang lama, tetapi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dunia turun tajam.
Situasi yang serupa dengan saat ini, di mana akibat perang antara Rusia dan Ukraina membuat harga minyak dunia menembus US$ 100 per barel. Asia sebagai wilayah yang bergantung pada minyak impor akan mendapatkan beban berat ketimbang Amerika Serikat (AS) maupun Eropa.
"Jika mereka naik lebih jauh dengan cara yang tajam dan berkelanjutan, itu akan menjadi negatif yang jelas bagi Asia. Salah satu faktor yang meringankan adalah beban minyak Asia (konsumsi minyak sebagai % dari PDB) meningkat dari tingkat yang jauh di bawah tren, menyediakan penyangga bagi kawasan untuk mendapatkan harga minyak yang lebih tinggi," jelasnya.
Masalah selanjutnya adalah pada pasar keuangan dan perusahaan. Volatilitas yang terjadi, menurut Morgan Stanley akan membuat kondisi keuangan Asia mengetat. "Periode ketegangan geopolitik yang berkelanjutan dan volatilitas di pasar keuangan dapat mempengaruhi kepercayaan perusahaan, menyebabkan perusahaan menahan belanja modal dan keputusan perekrutan, membebani pertumbuhan."
Morgan Stanley juga melihat tekanan pada sisi perdagangan. Asia memegang porsi besar dalam ekspor dunia, yakni 40%. Perang yang tak berkesudahan akan membuat penurunan konsumsi dan investasi global. Secara berlanjut akan pengaruhi permintaan terhadap barang dari Asia.
![]() |
Morgan Stanley memperkirakan adanya risiko penurunan pertumbuhan ekonomi kawasan Asia sebesar 25-50 bps, dengan asumsi kenaikan harga minyak berkelanjutan selama 12 bulan ke depan dan adanya pengetatan likuiditas di sektor keuangan.
Hal ini diterjemahkan sebagai stagflasi bagi ekonomi Asia. Permintaan yang lebih lemah tetapi harga yang lebih tinggi. Harga minyak yang lebih tinggi akan bertindak sebagai pajak atas pendapatan rumah tangga, membatasi pertumbuhan konsumsi.
Untuk sektor korporasi, akan menghadapi kondisi permintaan yang lebih lemah, kondisi keuangan yang lebih ketat dengan biaya pendanaan yang lebih tinggi, dan erosi margin keuntungan perusahaan (terutama di sektor hilir dengan kekuatan harga terbatas).
Apalagi ada sebagian negara dengan situasi ekonomi yang belum pulih atau pulih namun belum kembali ke jalur sebelum pandemi Covid-19 terjadi.
![]() |
Riset tersebut menunjukkan perekonomian yang paling terdampak adalah India, Korea dan Thailand. India terekspos pada inflasi dan transaksi berjalan, Thailand terekspos melalui transaksi berjalan tetapi relatif lebih rendah dari inflasi, sebaliknya, Korea terekspos pada inflasi tetapi bukan defisit transaksi berjalan.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hubungan Rusia-Ukraina Memanas, Putin Diawasi Ketat