Butuh US$ 5 M/Tahun, Ini Strategi Pendanaan Transisi Energi
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan butuh pendanaan 'jumbo' alias besar dalam melakukan transisi energi di tanah air. Dalam setahun Indonesia harus menginvestasikan US$ 5 miliar atau setara Rp 71,5 triliun dalam melakukan transisi energi.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam Energy Outlook 2022 yang diselenggarakan CNBC Indonesia, Kamis (24/2/2022).
"Sekarang ini akan memerlukan investasi yang cukup besar. Malah kalau bicara net zero emission menjadi sangat besar. Untuk basis RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) di PLN memerlukan angka US$ 50 miliar, secara rerata kira-kira dalam setahun US$ 5 miliar untuk berinvestasi," ujarnya.
Investasi dalam mendorong transisi energi ini, kata Dadan akan mendorong perekonomian nasional, ditambah pemerintah memiliki kebijakan untuk mengandalkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang bisa membuat transisi energi ini bisa dapat terwujud.
Sayangnya, jika mengandalkan pendanaan dalam negeri saat ini peminatnya masih terbatas. Oleh karena itu, masih dibutuhkan pendanaan asing.
"Untuk proyek besar, apalagi teknologi yang tergantung dari luar negeri, pendanaannya pun tergantung melibatkan dari luar," tuturnya.
Demi terwujudnya energi transisi untuk mengurangi emisi karbon menjadi 29% pada 2030 dan tercapainya bauran energi 23% pada 2025, pemerintah terus menciptakan iklim investasi yang semakin kondusif untuk mendorong proyek pembangkit energi baru terbarukan (EBT).
"Program untuk konversi, menurut saya ini gak ada peluang untuk gagal. Manfaat lingkungan jadi bersih dan secara keekonomian untuk PLN menjadi menarik," tuturnya.
Pemerintah pun saat ini tengah menyiapkan kebijakan tarif untuk menarik investasi pembangkit EBT, yang akan terutang di dalam Peraturan Presiden (Perpres).
Dadan menjelaskan, Perpres didesain untuk menciptakan iklim investasi dan masuknya inovasi. Di perpres tersebut, sebagian besar adalah diatur mengenai kebijakan harga atau tarif.
"Itu nanti menerapkan kebijakan harga patokan tertinggi. Kita tidak memberi harga sekian supaya menarik. Kami punya strategi dengan memberikan tarif tinggi di awal dan kemudian turun," jelasnya.
Dengan menetapkan kebijakan tarif harga tinggi di awal ini, pemerintah meyakini akan menarik investor untuk berinvestasi. Karena membuat modal mereka kembali lebih cepat.
"Kalau investasi, modal harus kembali dan ada return yang baik dari sisi itu. Kita secara overall, secara total akan memberikan manfaat, jadi harga tinggi di awal kemudian turun. Setelah dipastikan bahwa balik modal terjadi, selebihnya untuk pemeliharaan. Ini salah satunya yang sedang kita selesaikan," jelas Dadan.
(pgr/pgr)