Asesmen Moody's

PPKM Ketat, Utang, dan Sederet PR Besar Ekonomi RI

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
18 February 2022 09:58
Infrastruktur
Foto: Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Prospek Indonesia dinilai menjanjikan dengan pertumbuhan ekonomi 5% tahun ini dan tahun depan, setelah Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh tahun lalu dengan pola pemulihan seperti yang terjadi pada krisis ekonomi di era Presiden Soekarno.

Adalah Moody's Investors Service yang dalam asesmen terbarunya menilai prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia cerah sehingga perusahaan pemeringkat ini mengafirmasi peringkat utang pemerintah Indonesia pada level Baa2 (layak investasi) dengan outlook stabil.

Peringkat yang sama juga diberikan untuk penerbitan surat utang senior berdenominasi lokal dan asing milik pemerintah, surat utang jangka menengah (medium term note/MTN), serta obligasi berkelanjutan di peringkat yang sama.

Ekspektasi dasar Moody's dibangun dengan asumsi bahwa kebijakan moneter dan fiskal yang diambil selama pandemi-khususnya aksi bank sentral untuk ikut membiayai defisit fiskal-akan dinormalisasi akhir tahun ini, sesuai target pemerintah.

Apabila kebijakan tersebut efektif, maka kredibilitas pemerintah akan menguat dan memperkuat keyakinan investor asing, masuknya arus dana global, penguatan kurs, dan inflasi. Hal tersebut memberikan ruang pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya bagi Indonesia.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, krisis pandemi memicu kontraksi dengan pola pemulihan seperti era 1960-an ketika Presiden Soekarno berkuasa. Saat itu, pertumbuhan ekonomi terkontraksi 2,24% pada 1963, sebelum menguat setahun kemudian menjadi 3,53%.

Penyebab krisis saat itu adalah defisit fiskal akut yang menimpa Republik yang masih berusia muda, lantaran anggaran negara tersedot untuk membiayai proyek infrastruktur prestisius tapi bernilai tambah minim terhadap ekonomi seperti Tugu Monas, Sarinah serta beberapa operasi militer seperti pembebasan Irian Barat dan Ganyang Malaysia.

Kali ini, defisit fiskal terjadi akibat krisis pandemi yang memicu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk menekan pergerakan masyarakat dan penyebaran virus. Yang tertekan tak cuma virus, tentu saja, sehingga ekonomi terkontraksi sebesar -2,07% pada 2020. Namun tahun lalu, pemulihan telah terlihat dengan ekspansi sebesar 3,69% pada 2021.

Menyusul pukulan pandemi terhadap pertumbuhan ekonomi, Moody's memperkirakan aktivitas ekonomi akan kembali ke rerata historisya mulai tahun depan, dengan pertumbuhan ekonomi yang akan terjaga di tingkat rerata historisnya ke depan.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, rerata historis pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 5,01%. Adapun Moody's memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dua tahun ke depan akan berada di angka 5%, atau lebih tinggi di atas rerata pertumbuhan negara dengan peringkat sama seperti Indonesia (Baa2) sebesar 3,7%.

HALAMAN SELANJUTNYA >> Reformasi Struktural Jadi Kunci

Dengan memasukkan beberapa tantangan yang bisa menghadang implementasi kebijakan pemerintah, Moody's berharap reformasi struktural yang sudah dijalankan bakal mendukung daya saing investasi dan ekspor, dengan kendala yang terbatas.

Secara material, kemampuan menjalankan reformasi fiskal akan berimplikasi terhadap profil kredit pemerintah ke depannya. "Reformasi penerimaan negara dan rencana normalisasi fiskal yang baru saja disetujui akan mendukung terciptanya stabilisasi beban utang tahun depan," demikian tulis Moody's dalam laporan yang dirilis pada Kamis (10/2/2022).

Reformasi tersebut, lanjutnya, semestinya bisa diimplementasikan secara gradual. Meski menghadapi penundaan atau perbaikan seperti Omnibus Law, tetapi setidaknya bisa terjaga sehingga mempertahankan berbagai metrik pertumbuhan dan fiskal di level sekarang.

Rating Baa2 tersebut juga telah mempertimbangkan kekuatan fiskal yang relatif lemah. Secara khusus, kemampuan ekspansi utang masih lemah, meski rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di level lebih rendah dibandingkan dengan negara sejenis.

Maklum saja, defisit APBN memang melebar dari 2,2% (2019) menjadi 6,1% (2020) akibat gelontoran stimulus seperti yang terjadi di seluruh negara maju. Tahun lalu, defisit membaik menjadi 4,6%. Tahun ini, defisit APBN diprediksi di angka 3,8%.

Rating yang sama juga diberikan bagi Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia III (PPSI III), yang merupakan peruntukan khusus (special purpose vehicle/SPV) yang didirikan oleh pemerintah Indonesia khusus untuk mengelola penerbitan surat berharga negara (SBN).

Dari sisi keamanan beban utang eksternal, Moody's menilai batas atas utang Indonesia dalam jangka panjang dalam kurs local (local-currency/LC) masih di level A1 sementara batas atas utang jangka panjang dalam kurs asing (foreign currency/FC) masih tak berubah di level A3.

Rentang empat noktah keduanya menunjukkan rendahnya risiko politik akan berdampak signifikan mendisrupsi ekonomi atau memicu ketakseimbangan eksternal. Selain itu, juga menunjukkan rendahnya beban utang eksternal dan kecilnya kemungkinan moratorium utang.

Namun, Moody's mengingatkan bahwa efek jangka panjang pandemi terhadap pasar tenaga kerja serta pendidikan masih belum jelas meskipun pemerintah telah berupaya mengurangi efek buruk di sektor tersebut.

Tantangan lain yang menunggu adalah bagaimana mendorong investasi, khususnya di sektor usaha kecil dan menengah (UKM), melalui kebijakan dan program yang berkelanjutan untuk mendorong partisipasi sektor swasta.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular