Perdagangan Karbon RI Berpotensi Tembus Rp 4.290 Triliun!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana penerapan perdagangan karbon di Indonesia akan menjadi peluang usaha bagi para pengusaha. Pasalnya, perdagangan karbon di Indonesia diperkirakan bisa mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.290 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$) per tahun.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir. Pandu menyebut, nilai perdagangan karbon tersebut berasal dari sejumlah faktor, antara lain kegiatan menanam kembali hutan yang gundul, lalu penggunaan energi baru terbarukan (EBT), peralatan rumah tangga, sampai pembuangan limbah.
"Bagi pengusaha, ini merupakan opportunity sebesar US$ 300 miliar per tahun melalui carbon trading, baik dari sisi hutan/land use seperti reforestation, energi terbarukan, peralatan rumah tangga, sampai pembuangan limbah," tuturnya dalam diskusi Indonesia Energy Outlook 2022 yang diselenggarakan Asosiasi Pemasok Energi dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo), Kamis (17/02/2022).
Seperti diketahui, pemerintah berencana menerapkan pajak karbon untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara berlaku mulai 1 April 2022 dengan nilai Rp 30 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
"Tahun ini juga akan dibangun carbon credit market yang rencananya melalui bursa efek dan compliance akan dimulai pada 2024. Perpresnya lagi di-develop," ujarnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memastikan pasar keuangan domestik bakal memiliki bursa perdagangan karbon. Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso.
"OJK bersama Self Regulatory Organization (SRO) yang terdiri dari BEI, KSEI, dan KPEI, bersama dengan pemerintah sedang mengakselerasi kerangka pengaturan bursa karbon di Indonesia," ujar Wimboh dalam kegiatan Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK), Kamis (20/1/2022).
Akselerasi merupakan hal yang perlu dilakukan untuk mendukung pengembangan ekonomi hijau. Ini juga merupakan langkah strategis untuk penciptaan ekonomi baru melalui pendirian bursa karbon dan penerbitan Taksonomi Hijau 1.0.
Dalam taksonomi yang tengah disusun, OJK mengkaji 2.733 klasifikasi sektor dan subsektor ekonomi. Sekitar 919 diantaranya telah OJK konfirmasi oleh kementerian terkait, yakni Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sebagai catatan, bursa karbon ialah sistem yang mengatur mengenai pencatatan cadangan karbon, perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon.
Aturan perdagangan karbon tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional.
Perdagangan karbon yang dimaksud adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon.
Sementara, Taksonomi hijau OJK dapat didefinisikan sebagai klasifikasi sektor berdasarkan kegiatan usaha yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim yang telah sejalan dengan definisi di beberapa negara lain seperti EU Green Taxonomy dan China Green Catalogue.
[Gambas:Video CNBC]
Pajak Karbon PLTU Berlaku April 2022, Ini Cara Hitungannya
(wia)