Pajak Karbon PLTU Berlaku April 2022, Ini Cara Hitungannya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah bersiap untuk menerapkan pajak karbon mulai 1 April 2022, seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Harmonisasi Pajak (UU HPP). Seperti diketahui, pemerintah dan DPR sepakat mengenakan pajak karbon sebesar Rp 30 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Mekanisme perdagangan karbon (carbon trading) atau bursa karbon pun tengah disiapkan.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menjelaskan, penetapan batas atas emisi gas rumah kaca (BAE) pada pembangkitan tenaga listrik ditetapkan melalui persetujuan teknis oleh menteri terkait.
Dalam hal terkait dengan sub sektor ketenagalistrikan (pembangkit listrik), maka batas atas emisi ini ditetapkan oleh Menteri ESDM atas usulan Ditjen Ketenagalistrikan.
"Saat ini sedang disusun rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) pembangkit tenaga listrik," jelas Rida dalam konferensi pers, Selasa (18/1/2022).
Adapun usulan mekanismenya yakni Surat Persetujuan Teknis Eemisi (PTE) pada PLTU batu bara diterbitkan oleh Menteri ESDM melalui Ditjen Ketenagalistrikan.
Kemudian, surat PTE diberikan kepada unit instalasi PLTU batu batu bara dalam satuan ton CO2e atau ton karbon dioksida ekuivalen dan berdasarkan dari nilai batas atas emisi (ton CO2e/MWh) yang dikalikan produksi bruto (MWh) yang direncanakan pada awal tahun.
"Trading dilakukan antar peserta uji coba dengan penerapan maksimum trading dari unit pembangkit surplus dibatasi sebesar 70% dan offset ditetapkan dari aksi mitigasi pembangkit EBT (energi baru terbarukan) sebesar 30%," jelas Rida.
Saat tahap uji coba, nilai batas emisi untuk perdagangan karbon ini terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
- PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 400 MW.
- PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas 100-400 MW.
- PLTU Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 100 MW.
Skema pajak karbon untuk ketiga kategori pembangkit tersebut akan diterapkan mulai 1 April 2022.
Adapun emisi sektor lainnya di luar Kementerian ESDM, menteri terkait yang akan menentukannya.
"Kelompok (pembangkit) mulut tambang, non mulut tambang antara 100 hingga 400 mega watt, di atas 400 mega watt, dan khusus mulut tambang di atas 100 mega watt. Tapi ini udah kita uji cobakan dan akan implementasikan," kata Rida melanjutkan.
Sementara itu, kata Rida khusus untuk PLTU dengan kapasitas 25-100 MW rencananya akan diterapkan pajak karbon pada 2023.
Pengecualian tersebut dilakukan, kata Rida, karena jangan sampai pelayanan penyediaan listrik kepada masyarakat terganggu, karena kapasitasnya kecil, namun secara fungsi PLTU dengan kapasitas 25-100 MW tersebut merupakan tulang punggung suplai kelistrikan di luar Pulau Jawa.
"Jangan sampai, karena karbon tinggi kemudian ditutup dan gelap gulita, itu buat kita tidak elok. Kalau ini ditutup karena alasan emisi, sementara penggantinya belum ada, jangan sampai seperti itu," jelas Rida.
Kendati demikian, skema perdagangan karbon yang sudah dijelaskan tersebut, menurutnya belum bersifat final, karena yang memutuskan langsung adalah Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Sementara itu, seiring dengan rencana penerapan pajak karbon pada April 2022 mendatang, pemerintah juga akan melakukan penguatan kerangka transparansi.
"Hal lain menyangkut NEK ini laporan dan juga transparansi mengemuka dan masih berproses, karena butuh koordinasi kementerian dan lembaga lain. Tanggal 1 April nanti ini akan diimplementasikan efektif," pungkasnya.
[Gambas:Video CNBC]
PLTU di Bawah 100 MW Belum Kena Pajak Karbon di 2022
(wia)