Duh Masih Ada Pengusaha Ogah Tinggalkan Dolar, Kenapa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengungkapkan regulasi yang ada di Indonesia dinilai tidak mendukung pengusaha untuk bertransaksi menggunakan mata uang lokal atau local currency settlement (LCS).
Padahal, banyak pengusaha saat ini telah memiliki semangat tinggi untuk melakukan transaksi bisnis melalui LCS, karena membuat transaksi perdagangan dan investasi menjadi jauh lebih efisien.
"Customer sudah oke, tapi regulasinya gak mendukung, karena harus pakai underlying. [...] Kami mengusulkan pakai treshold. Patokannya 500.000 renminbi atau kurang lebih Rp 1,2 miliar," jelas Hariyadi dalam webinar yang merupakan rangkaian dari Presidensi G20, Rabu (16/2/2022).
"Kalau di bawah Rp 1,2 miliar jangan ada underlying-nya, ribet urusannya. Ini harus ada kesepakatan dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," kata Hariyadi melanjutkan.
Adapun dukungan dengan OJK yang dimaksud adalah, agar audit transaksi pelaku usaha di perbankan bisa dilonggarkan.
"Kalau OJK untuk ikut support ini menjadi menarik. Kalau auditnya semangatnya memberikan kelonggaran, impactnya akan besar. Kami sangat berharap ada support dari OJK," jelas Hariyadi.
Semangat untuk bertransaksi meninggalkan dolar ini, menurut Hariyadi sudah sangat bagus. Sayangnya, otoritas dinilai belum gencar melakukan sosialisasi.
Hariyadi juga meminta agar negara mitra untuk melakukan transaksi LCS diperluas. Terutama dengan negara-negara mitra perdagangan yang strategis dengan Indonesia.
"Diperluas negara-negara yang ikut, India, Korea Selatan, Arab Saudi, Rusia, dan negara-negara lain yang kita pandang berpotensi besar dengan kita," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, ekonom senior Chatib Basri, sekaligus Menteri Keuangan Indonesia periode 21 Mei 2013 hingga 20 Oktober 2014, mengungkapkan memang harus dicari solusinya agar LCS ini bisa nyaman digunakan pelaku usaha dalam transaksi bisnis.
Menurut Chatib dalam transaksi LCS ini, mata satu negara memang bisa dijadikan sebagai reserve currency atau mata uang asing untuk dijadikan cadangan devisa suatu negara.
Nah, sayangnya, jika ada negara yang menjadikan mata uang-nya sebagai reserve currency, berarti negara tersebut bersedia transaksi berjalan-nya defisit.
"Kalau surplus, mata uang orang itu diambil, kalau current account deficit mata uang dipegang negara lain. [...] Sehingga proporsi penggunaan mata uang dollar jadi turun. Ini pembahasan yang harus dipikirkan lebih jauh," jelasnya.
"Ada constraint (paksaan) mengenai policy dari negara-negara yang hold currency," kata Chatib melanjutkan.
(cap/mij)