Kata Eks Dirut Pertamina Soal Ancaman Ngeri Gegara Isu Perang
Jakarta, CNBC Indonesia - Isu invasi Rusia ke Ukraina tidak hanya berdampak pada negeri Barat, tapi juga bisa berimbas pada Indonesia. Salah satunya karena ini bisa membuat harga minyak dunia melonjak, seperti terjadi kemarin, Selasa (15/02/2022).
Kabar sebelumnya yang menyebut bahwa Rusia kemungkinan akan menginvasi Ukraina pada hari ini, Rabu (16/02/2022), telah membuat harga minyak dunia pada perdagangan kemarin melonjak, mendekati US$ 100 per barel.
Harga minyak dunia pada perdagangan Selasa (15/02/2022) pagi pukul 07.51 WIB, melesat 2,16% dibandingkan posisi penutupan pada perdagangan kemarin menjadi US$ 96,48 per barel untuk jenis Brent.
Sedangkan yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya melesat menjadi US$ 95,46 per barel, melambung 2,53% dibandingkan kemarin. Kedua jenis minyak ini memecahkan rekor tertinggi sejak 2014.
Meskipun setelah ada kabar ditariknya pasukan tentara Rusia dari perbatasan Ukraina pada Selasa sore juga turut berdampak pada menurunnya harga minyak mentah dunia.
Reuters menyebut, harga minyak jenis Brent jatuh US$ 2,65 per barel atau sekitar 2,8% menjadi US$ 93,83 per barel pada Selasa (15/02/2022) pukul 10:45 GMT (sekitar pukul 17:45 WIB) dan harga minyak WTI turun US$ 2,82 per barel atau 3% menjadi US$ 92,64 per barel, setelah beredar pernyataan Kementerian Pertahanan Rusia yang menyatakan bahwa sementara latihan skala besar di seluruh negeri berlanjut, beberapa unit distrik militer Selatan dan Barat telah menyelesaikan latihan mereka dan mulai kembali ke pangkalan.
Pada perdagangan Rabu (16/02/2022), harga minyak pada pagi ini berada di kisaran US$ 93,19 per barel untuk jenis Brent pada pukul 02:53 GMT (atau sekitar 09:53 WIB), turun 3,3% dari kemarin. Sementara untuk jenis West Texas Intermediate (WTI) berada pada level US$ 92,13 per barel, turun 3,6% dari penutupan perdagangan Selasa.
Ini menunjukkan bahwa sekecil apapun kabar tentang perang ini bisa membuat pasar minyak dunia bergejolak. Ini tentunya hal tidak baik bagi Indonesia yang merupakan net importir minyak.
Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2006-2009 Ari Soemarno mengatakan, bila harga minyak bergejolak, terutama melonjak tajam, tentunya ini lebih banyak dampak negatifnya bagi Indonesia, baik dari sisi neraca perdagangan maupun transaksi berjalan.
"Bagi Indonesia, harga minyak yang tinggi lebih berdampak negatif, baik dari sisi neraca perdagangan maupun transaksi berjalan, mengingat kita sudah menjadi net importir minyak dan BBM dalam jumlah yang besar," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (16/02/2022).
Bila ini terus berlanjut dan pemerintah masih memberikan subsidi berbasis pada komoditas atau memberikan subsidi pada bahan bakar minyak (BBM), maka tentunya ini akan membuat anggaran pemerintah akan semakin bengkak.
"Di samping itu, juga akan membebani APBN bila kebijakan subsidi komoditas energi terus dilanjutkan," ujarnya.
Begitu juga dari sisi stok atau cadangan BBM. Stok BBM yang masih sekitar 21 hari membuat ketahanan energi RI sangat rentan. Adapun stok BBM yang ada saat ini juga masih berupa stok operasional badan usaha, bukan cadangan strategis nasional.
Bila hanya mengandalkan badan usaha, menurutnya ini juga terbatas pada kebutuhan anggaran yang lebih besar.
"Ya mau gimana lagi. Mau simpan stok lebih banyak, tangkinya juga tidak ada dan juga memerlukan working capital yang besar. Yang sekarang ada kan sebenarnya stok operasional dan itu pun masih dibilang rendah untuk menjamin keandalan supply," tuturnya.
Sementara dari sisi hulu minyak dan gas bumi, produksi migas RI juga terus menurun setiap tahunnya, sehingga impor minyak takkan terelakkan. Begitu juga dengan mimpi RI untuk mencapai produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari (bph) pada 2030 mendatang, dengan kondisi investasi yang masih rendah dan produksi migas dalam negeri terus menurun, dirinya pun pesimistis target ini bisa terwujud.
"Di lain pihak, produksi migas kita akan terus menurun karena investasi di sektor hulu, khususnya untuk eksplorasi pencarian baru pada kenyataannya tidak mengalami peningkatan. Niat untuk mencapai produksi minyak menjadi 1 juta barel per hari di 2030, dengan perkembangan tingkat nilai investasi seperti saat ini tidak mungkin akan bisa tercapai," bebernya.
(wia)