Suku Bunga AS Naik, Begini Opsi Paling Mungkin Terjadi di RI

MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
Rabu, 09/02/2022 16:15 WIB
Foto: M Chatib basri Foto: Detikcom/ Ari Saputra

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi covid-19 masih belum selesai, sementara Indonesia dan banyak negara berkembang di dunia lainnya harus bersiap menghadapi kebijakan Amerika Serikat (AS). Apa opsi antisipasi yang mungkin dipilih Indonesia?

Ekonom Senior Chatib Basri menjelaskan, persoalan tapering AS bukan pertama kali terjadi. Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi respons regulator, baik pemerintah maupun Bank Indonesia (BI). Meskipun tak semuanya bisa digunakan.


Pertama adalah kenaikan suku bunga acuan. Opsi ini menjadi andalan ketika 2013, saat tapering melanda Indonesia. Kenaikan suku bunga acuan bisa meredam aliran dana keluar (outflow) dari dalam negeri, sebab imbal hasil terhadap investor akan lebih menarik.

Akan tetapi tidak untuk saat ini. BI sulit mengambil opsi tersebut karena bisa menahan laju perekonomian yang baru merangkak pulih. Apalagi inflasi cenderung rendah, pada 2021 dilaporkan 1,87% dan 2022 diperkirakan sekitar 3%.

"Dengan kondisi tersebut, BI rate paling mungkin baru akan naik pada tahun depan," kata Chatib dalam acara Mandiri Investment Forum, Rabu (9/2/2022)

Kedua, opsi yang dimungkinkan adalah dengan pengetatan fiskal. Kembali pada 2013, pengetatan yang dilakukan saat itu adalah mengurangi subsidi energi yang berimbas pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Chatib memahami opsi kedua juga tidak dapat dilakukan. Belanja pemerintah sangat dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi, khususnya masyarakat yang terdampak pandemi covid-19.

"Bu Sri Mulyani tadi menyampaikan akan komitmen untuk mendorong perekonomian, maka artinya tidak akan memperketat fiskal," paparnya.

Opsi ketiga yang paling mungkin terjadi adalah membiarkan rupiah melemah. Kini rupiah bergerak di level 14.300 per dolar AS. "Jadi membiarkan rupiah melemah adalah yang paling mungkin. BI bisa smoothing volatilitas lewat kebijakan makroprudensial," jelas mantan Menteri Keuangan tersebut.

Meski demikian, pelemahan rupiah tidak akan terlalu dalam, apalagi bergerak seperti 2013 maupun 2020 lalu. Beberapa indikator yang menahan pelemahan antara lain adalah semakin kecilnya dana asing di dalam negeri, khususnya pada kepemilikan surat berharga negara (SBN).

Asing sudah kabur saat pandemi covid dimulai. Posisinya digantikan oleh investor dalam negeri, yaitu perbankan. Kini posisi kepemilikan asing hanya sekitar 20%, lebih rendah dari sebelumnya di atas 30%.

Indikator lainnya adalah sisi eksternal, di mana transaksi berjalan (current account) yang surplus. Bahkan sekalipun defisit pada tahun ini, persentasenya masih kecil. Sementara ada 2013 silam, defisit transaksi berjalan bisa di atas 2% PDB.

BI juga lebih siap, seiring dengan cadangan devisa yang besar dan juga segenap instrumen intervensi moneter yang lebih variatif.

"Sehingga tidak terlalu banyak kekhawatiran soal kenaikan suku bunga AS," pungkasnya.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: 8 Jurus Sri Mulyani Tembuskan 8%!