Harga Sawit Mahal, Sampai Kiamat Minyak Goreng Tak Bisa Murah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 February 2022 06:20
Penjualan Minyak Goreng
Foto: Penjualan Minyak Goreng (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) masih bertahan di level tinggi. Akibatnya, harga produk turunan CPO pun terus saja mahal. Salah satunya minyak goreng.

Kemarin, harga CPO di Bursa Malaysia ditutup di MYR 5.352/ton. Turun 1,78% dari hari sebelumnya.

Koreksi ini membuat harga CPO anjlok selama tiga hari beruntun. Selama periode tersebut, harga ambles 4,72%.

Meski demikian, harga CPO masih bertahan di level tinggi. Buktinya, dalam sebulan terakhir harga komoditas ini masih membukukan kenaikan 8,33% secara point-to-point. Selama setahun ke belakang, harga meroket 52,52%.

Kenaikan harga CPO menimbulkan ekses negatif, terutama bagi masyarakat luas. Harga produk turunan CPO seperti minyak goreng melambung tinggi.

Mengutip catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga rata-rata minyak goreng kemasan bermerek I di pasar tradisional adalah Rp 19.900/kg pada 8 Februari 2022. Jika dikonversi ke liter, maka harganya menjadi Rp 21.890/liter. Masih jauh di atas anjuran pemerintah yaitu paling mahal Rp 14.000/liter.

Halaman Selanjutnya --> Sudah Ada Terobosan, Tapi Belum Mempan

Selama harga CPO masih tinggi, maka sangat sulit bagi harga produk turunannya seperti minyak goreng untuk dijual murah. Hukum pasar berlaku, harga bahan baku mahal maka harga produk pasti ikut mahal.

Ada cara agar minyak goreng bisa djual di bawah harga pasar, misalnya di Rp 14.000/liter seperti kemauan pemerintah. Itu adalah dengan memberikan 'subsidi' kepada produsen minyak goreng.

Saat produsen membeli CPO dengan harga mahal, siapa yang mau menjual minyak goreng dengan murah? Siapa yang akan membayar selisihnya?

Nah, di sini peran negara bisa masuk. Indonesia memiliki Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Lembaga ini berwenang mengumpulkan pungutan ekspor kelapa sawit dan bisa menggunakannya untuk 'subsidi' selisih harga minyak goreng.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 61/2015 pasal 11 ayat (1), disebutkan bahwa dana hasil pungutan ekspor itu digunakan untuk kepentingan:
a. Pengembangan sumber daya manusia perkebunan kelapa sawit.
b. Penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit.
c. Promosi perkebunan kelapa sawit.
d. Peremajaan perkebunan kelapa sawit.
e. Sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit.

Namun pasal 11 ayat (2) menyatakan:
Penggunaan Dana yang dihimpun untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk dalam rangka pemenuhan hasil Perkebunan Kelapa Sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri Perkebunan Kelapa Sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel.

Pemenuhan hasil perkebunan kelapa sawit untuk kebutuhan pangan bisa diartikan bahwa dana hasil pungutan ekspor bisa dipakai untuk membantu pemenuhan minyak goreng. Tentu dengan harga terjangkau. Caranya adalah dengan menutup selisih harga dengan 'subsidi' yang diambil dari dana pungutan ekspor.

Pemerintah pun sudah menempuh langkah ini. Dalam rapat 18 Januari 2022, diputuskan dana pungutan ekspor kelapa sawit akan dipakai untuk menutup selisih harga minyak goreng.

"Dalam rapat ini diputuskan bahwa untuk selisih harga minyak goreng akan diberikan dukungan pendanaan dari BPDPKS sebesar Rp 7,6 triliun," ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto ketika memimpin Rapat Komite Pengarah BPDPKS.

Namun terobosan ini tidak (atau belum) terlaksana di lapangan. Sebab, ada kekhawatiran pembayaran selisih harga sulit cair karena urusan administrasi. Akibatnya, tidak sedikit pedagang yang menahan stok minyak goreng, enggan untuk menjualnya.

"Desember 2021 pedagang beli minyak goreng yang mahal, Rp 18.000-19.000 per liter. Tahu-tahu Januari 2022 disuruh jual Rp 14.000, terus Februari ada HET (Harga Eceran Tertinggi) Rp 11.500-14.000 per liter. Pedagang mau rugi nggak?

"BPDPKS mana mau terima dokumen saja, dia maunya bukti fisik. Berapa ribu outlet? Apakah BPDPKS bisa? Jadinya, macet. Perkiraan saya ada sekitar 400.000 kiloliter minyak goreng yang tersandera di pedagang, total premium, kemasan sederhana, hingga curah. Itu stok sekitar dua bulan," terang Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).

Jika kisruh ini tidak segera dibenahi, maka rakyat akan menjadi korban. Saat harga CPO semakin tinggi, harga minyak goreng akan terus melambung. Itupun kalau ada barangnya...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular