Internasional

Bumi Gonjang-Ganjing, Akankah Perang Dunia III akan Terjadi?

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
07 February 2022 15:15
Kapal induk Amerika Serikat (AS), USS Harry S Truman, menggelar latihan militer di perairan Laut Adriatik  (REUTERS/YARA NARDI)
Foto: Kapal induk Amerika Serikat (AS), USS Harry S Truman, menggelar latihan militer di perairan Laut Adriatik (REUTERS/YARA NARDI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi geopolitik dunia saat ini sedang memanas. Ketegangan kali ini melibatkan beberapa kekuatan besar dunia antara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya yang sedang berhadapan dengan Rusia dan China.

Terbaru, ketegangan semakin meruncing terkait dinamika di Ukraina. Rusia dilaporkan melakukan mobilisasi pasukan besar-besaran ke dekat negara itu lantaran niat Kyiv untuk ikut menjadi anggota NATO. NATO sendiri merupakan aliansi militer pimpinan AS dan Eropa yang notabenenya merupakan rival Moskow. 

Di sisi lain, Ukraina sendiri menyebut pengajuannya kepada NATO adalah untuk mendapatkan bantuan dari pakta pertahanan itu. Tujuannya untuk melawan pasukan separatis lainnya di wilayah Donbass dan Luhansk agar tidak lepas lagi seperti wilayah Krimea yang jatuh kepada Rusia pada 2014 lalu.

Memanasnya hubungan ini pun membuat beberapa analis menyebut apabila ketegangan ini menjadi perang, maka hampir dipastikan ini merupakan perang dunia ketiga. Kedua pihak, baik Barat maupun Rusia, sama-sama memiliki persenjataan nuklir yang mutakhir.

Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri telah memberikan skenario-skenario yang mengarah kepada perang besar ini. Ia mengatakan perang terjadi bila Ukraina menjadi anggota NATO dan keduanya bersama-sama melakukan operasi militer untuk merebut kembali Krimea ke tangan Kyiv.

"Bayangkan bahwa Ukraina adalah anggota NATO dan operasi militer (untuk merebut kembali Krimea) dimulai," kata pemimpin Rusia itu dikutip BBC, Rabu (2/2/2022). "Apa, apakah kita akan bertarung dengan NATO? Apakah ada yang memikirkan hal ini? Sepertinya belum."

Sementara itu, AS sebagai pimpinan NATO dan penyokong Ukraina terus memberikan tekanan yang kuat kepada Rusia. Negara pimpinan Presiden Joe Biden itu menekankan siap memberikan bantuan karena potensi serangan dapat terjadi kapan saja.

"Kami berada di jendela. Setiap hari sekarang, Rusia dapat mengambil tindakan militer terhadap Ukraina, atau bisa jadi beberapa minggu dari sekarang," kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan kepada Fox News, Minggu (6/2/2022).

Saat ini Washington pun juga telah melakukan mobilisasi persenjataan dan pasukan yang banyak ke dekat wilayah milik Kyiv. Tak hanya senjata, sanksi ekonomi juga sedang disiapkan untuk menekan Negeri Beruang Merah itu.

"Saya akan menggambarkannya karena kita berada di garis satu yard. Ada tekad kuat bipartisan untuk mendukung Ukraina dan menghukum Rusia jika menyerang Ukraina," kata Senator AS Bob Menendez, ketua Demokrat dari Komite Hubungan Luar Negeri Senat.

AS juga menambahkan bahwa pihaknya meminta agar Rusia mau membubarkan pasukan yang berjumlah lebih dari 100 ribu itu. Menteri Pertahanan Lloyd Austin menyebut bahwa ini harus dilakukan Putin agar eskalasi menurun.

"Tuan Putin juga bisa melakukan hal yang benar. Tidak ada alasan situasi ini berubah jadi konflik. Dia bisa memilih mengurangi ketegangan, memerintahkan pasukannya pergi," kata Austin.

China pun ikut terseret dalam pusaran konflik geopolitik ini. Di tengah persoalan Ukraina, Beijing dan Moskow mulai membangun kerja sama untuk membendung hegemoni AS sekutunya.

Dalam sebuah pertemuan antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin, kedua negara sepakat untuk mendeklarasikan kemitraan "tanpa batas". Beijing mendukung permintaan Rusia agar Ukraina tidak diterima di NATO, sementara Moskow menentang segala bentuk kemerdekaan bagi Taiwan.

"Persahabatan antara kedua negara tidak memiliki batas, tidak ada bidang kerja sama yang 'terlarang'," kata kedua negara dalam pernyataan bersama dikutip Reuters, Sabtu (5/2/2022).

Tak hanya soal Ukraina dan Taiwan, keduanya pun juga membuat deklarasi sikap bersama atas beberapa persoalan dunia. Berikut daftarnya dikutip dari keterangan resmi pascapertemuan kedua pemimpin:

1. Rusia menyuarakan dukungannya terhadap sikap China bahwa Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari China, dan menentang segala bentuk kemerdekaan pulau itu.

2. Moskow dan Beijing juga menyuarakan penentangan mereka terhadap aliansi AUKUS antara Australia, Inggris dan Amerika Serikat, dengan mengatakan hal itu meningkatkan bahaya perlombaan senjata di wilayah tersebut.

3. China bergabung dengan Rusia dalam menyerukan diakhirinya perluasan NATO dan mendukung permintaannya akan jaminan keamanan dari Barat.

4. China dan Rusia menyatakan keprihatinan tentang "kemajuan rencana AS untuk mengembangkan pertahanan rudal global dan menyebarkan elemen-elemennya di berbagai wilayah di dunia, dikombinasikan dengan pengembangan kapasitas senjata non-nuklir presisi tinggi untuk melucuti serangan dan tujuan strategis lainnya".

Selain empat butir poin kerjasama yang disepakati ini, Negeri Tirai Bambu juga meminta agar Washington mau menghormati keputusan Rusia yang melakukan mobilisasi pasukan besar-besaran ini karena kekhawatiran Moskow terkait masuknya Kiev ke dalam NATO.

Dalam sejarahnya, China sendiri juga memiliki ketegangan dengan AS dan sekutunya terkait persoalan teritorial. Hal ini terkait klaim atas Taiwan dan juga mengenai Laut China Selatan. Beijing seringkali menuduh bahwa AS berada di belakang plot kemerdekaan Taiwan yang mereka diklaim sebagai wilayah kedaulatannya.

Kerjasama ini pun membuat AS juga ikut melontarkan ancaman kepada China. Terbaru, AS memperingatkan setiap entitas China yang masih terlibat dalam kegiatan ekspor ke Rusia. Dalam keterangan pers, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price menegaskan akan ada konsekuensi serius bila perusahaan Negeri Tirai Bambu tetap meneruskan hal ini.

"Kami memiliki serangkaian alat yang dapat digunakan jika melihat perusahaan asing, termasuk yang ada di China, melakukan tindakan untuk mengisi kembali kontrol ekspor AS, menghindarinya atau menyiasatinya," kata Price dalam jumpa pers dikutip CNBC International, Jumat (4/2/2022).

Meski eskalasi seakan di ujung tanduk, nampaknya beberapa negara pun mulai mengambil sikap penengah agar perang tidak terjadi. Salah satunya adalah yang Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Pada pekan lalu, Erdogan bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy. Sebelum terbang ke Kyiv, Erdogan mengatakan Turki menyerukan kedua belah pihak untuk berdialog, menambahkan krisis harus diselesaikan secara damai berdasarkan hukum internasional.

"Insya Allah kami akan berhasil mengatasi periode bermasalah antara kedua negara ini," kata Erdogan, seraya menambahkan bahwa pernyataan dari Ukraina dan Rusia sejauh ini mengecilkan prospek konflik militer langsung.

Turki memiliki hubungan baik dengan Kyiv dan Moskow. Akan tetapi, Erdogan mengatakan akan melakukan apa yang diperlukan sebagai anggota NATO jika Rusia menyerang Ukraina.

Sementara itu, Macron pada Senin, (7/2/2022) mengunjungi Presiden Putin di Moskow. Macron menyerukan "keseimbangan baru" untuk melindungi negara-negara Eropa dan di sisi lain juga menghormati Rusia. Ia menuturkan Rusia sebenarnya hanya mencari keseimbangan dan bukan invasi ke Ukraina.

"Kita harus melindungi saudara-saudara kita di Eropa dengan mengusulkan keseimbangan baru yang mampu menjaga kedaulatan dan perdamaian mereka," katanya kepada surat kabar Journal du Dimanche sebagaimana dikutip BBC. "Ini harus dilakukan sambil menghormati Rusia dan memahami trauma kontemporer dari orang-orang hebat dan bangsa besar ini."

Selain itu, Macron juga berharap dialog dengan Presiden Rusia Vladimir Putin akan mencegah konflik militer yang lebih luas. Ia percaya Putin juga merupakan figur yang terbuka untuk membahas masalah-masalah eskalasi politik.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular