LPG Makin Mahal, Tenang Ini lho Bund Alternatif Penggantinya

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
02 February 2022 13:10
LPG
Foto: courtesy Detik Finance

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak akhir Desember 2021 lalu harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) non subsidi di pasaran mengalami kenaikan. Harga LPG non subsidi minimal tabung 12 kilo gram (kg) ini rata-rata naik sebesar Rp 1.600 - Rp 2.600 per kg menjadi Rp 11.500 per kg.

Di pasaran kini harga LPG per tabung 12 kg tersebut bisa mencapai sekitar Rp 175 ribu - Rp 177 ribu. Bahkan, tak menutup kemungkinan di beberapa daerah ada yang lebih tinggi dari harga tersebut.

Naiknya harga LPG ini tak terlepas dari ketergantungan RI pada impor LPG. Pasalnya Indonesia mengimpor LPG sekitar 80% dari total kebutuhan per tahun atau impor sekitar 6-7 juta ton per tahun.

Harga LPG akan merujuk pada harga internasional yakni Contract Price Aramco (CP Aramco). PT Pertamina (Persero) menyebut, pada November 2021 CP Aramco untuk LPG mencapai US$ 847 per metrik ton, harga tertinggi sejak tahun 2014 atau meningkat 57% sejak Januari 2021.

"Penyesuaian harga LPG non subsidi terakhir dilakukan tahun 2017. Harga CPA November 2021 tercatat 74% lebih tinggi dibandingkan penyesuaian harga 4 tahun yang lalu," ungkap Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting kepada CNBC Indonesia, Senin (27/12/2021).

Ketika Indonesia bergantung pada impor, maka bukan tidak mungkin harga LPG ke depannya bisa kembali naik.

Tapi jangan khawatir, Indonesia sebenarnya memiliki alternatif bahan bakar terutama untuk memasak di sektor rumah tangga yang bisa menjadi pengganti LPG, bahkan lebih murah dibandingkan LPG, antara lain sebagai berikut:

1. Gas Alam Melalui Jaringan Gas Kota/ Jargas:

Indonesia kaya akan sumber daya gas alam yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti LPG. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), jumlah cadangan terbukti gas alam RI hingga 31 Desember 2021 tercatat mencapai 42,93 triliun kaki kubik (TCF).

Dengan asumsi produksi gas sebesar 6.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), maka cadangan terbukti gas ini masih cukup untuk sekitar 19,6 tahun ke depan.

Jumlah cadangan terbukti gas ini masih bisa semakin meningkat, terutama bila kegiatan eksplorasi hulu minyak dan gas bumi (migas) terus digalakkan. Indonesia memiliki 128 cekungan hidrokarbon (basin). Namun sampai saat ini, hanya 20 cekungan yang telah diproduksi, 27 cekungan lainnya sudah dibor dan menemukan potensi cadangan, 12 cekungan sudah dibor tapi tidak menemukan cadangan, dan masih ada 69 cekungan lainnya yang belum sama sekali dibor.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, pihaknya optimistis potensi migas di Indonesia masih cukup besar bila cekungan hidrokarbon tersebut bisa terus dieksplorasi dan dieksploitasi. Dengan demikian, jumlah cadangan minyak maupun gas di Tanah Air akan semakin meningkat.

Pemanfaatan gas alam untuk sektor pelanggan rumah tangga khususnya bisa dinikmati melalui program Jaringan Gas Kota (Jargas) yang digencarkan pemerintah.

Pada 2021 jaringan gas kota (jargas) bertambah sebanyak 126.876 sambungan rumah tangga (SR) di 21 kabupaten/kota.

Adapun total jumlah sambungan jaringan gas pipa pada rumah tangga hingga 2021 tercatat mencapai 799 ribu. Tentunya jumlah ini masih sangat minim dan belum semua provinsi teraliri gas pipa.

Pada 2022 ini pemerintah hanya menargetkan tambahan 40.000 sambungan rumah tangga untuk proyek jargas. Artinya, total rumah tangga tersambung jargas hingga akhir 2022 ditargetkan hanya mencapai 839.000 rumah tangga.

Lantas, berapa harga bila menggunakan jargas? dan berapa besar penghematannya bila dibandingkan menggunakan LPG?

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengungkapkan penggunaan gas alam, tepatnya jaringan gas kota (jargas) akan lebih hemat dibandingkan penggunaan Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Saleh Abdurrahman, Anggota Komite BPH Migas, menyebut berdasarkan studi yang dilakukan PT Perusahaan Gas Negara tbk (PGAS), saat memasak 10 liter air, biaya yang dikeluarkan bila menggunakan LPG mencapai Rp 1.747,12, sedangkan bila menggunakan kompor jargas, biaya bisa lebih murah yakni Rp 1.687.

Tak hanya lebih murah, penggunaan gas pipa melalui jargas ini menurutnya juga memiliki manfaat lainnya, seperti lebih ramah lingkungan, lebih aman, dan sumber gasnya pun berasal dari dalam negeri, bukan impor seperti halnya LPG.

"Selain lebih bersih lingkungan, lebih safe, produksi dalam negeri/ tidak impor, studi PGN menunjukkan biaya untuk memasak 10 liter air dengan kompor LPG Rp 1.747,12, sedangkan kompor jargas Rp 1.687," tuturnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (28/01/2022).

Dari sisi harga jargas sendiri, telah diatur melalui Peraturan BPH Migas.

Berdasarkan Peraturan BPH Migas, harga gas jargas di DKI Jakarta dan Jawa Timur misalnya, dipatok sebesar Rp 4.250 per meter kubik (m3) untuk pelanggan rumah tangga-1 (RT-1) dan pelanggan kecil-1 (PK-1) dan Rp 6.000 per m3 untuk pelanggan rumah tangga-2 (RT-2) dan pelanggan kecil-2 (PK-2).

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan BPH Migas No.9 tahun 2021 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa untuk Konsumen Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil pada Jaringan Pipa Distribusi Provinsi DKI Jakarta dan Peraturan BPH Migas No.14 tahun 2021 untuk wilayah Provinsi Jawa Timur yang ditetapkan Kepala BPH Migas M.Fanshurullah Asa pada 19 Mei 2021 dan berlaku sejak diundangkan pada 4 Juni 2021.

Pelanggan kecil di sini maksudnya yaitu konsumen selain rumah tangga yang memanfaatkan gas bumi untuk kebutuhan sendiri dan tidak untuk diperdagangkan dengan jumlah pemakaian gas bumi sampai dengan 1.000 m3 per bulan.

Pelanggan rumah tangga-1 (RT-1) terdiri dari rumah susun, rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan sejenisnya, dan pelanggan rumah tangga-2 (RT-2) terdiri dari rumah menengah, rumah mewah, apartemen, dan sejenisnya.

Sementara pelanggan kecil 1 (PK-1) terdiri dari rumah sakit pemerintah, Puskesmas, panti asuhan, tempat ibadah, lembaga pendidikan pemerintah, lembaga keagamaan, kantor pemerintah, lembaga sosial, usaha mikro, dan sejenisnya, dan pelanggan kecil-2 (PK-2) terdiri dari hotel, restoran atau rumah makan, rumah sakit swasta, perkantoran swasta, lembaga pendidikan swasta, pertokoan/rumah toko/rumah kantor/pasar/mall/swalayan, dan kegiatan komersial sejenisnya.

Pemerintah kini juga menggalakkan program 1 juta kompor listrik/ induksi. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir bahkan pernah menyebut, negara bisa menghemat hingga Rp 60 triliun bila masyarakat beralih dari LPG ke kompor induksi ini.

Selain menghemat anggaran negara, kompor induksi juga disebut bisa menghemat pengeluaran konsumen. Erick menyebut, setelah dilakukan uji coba, penggunaan listrik untuk memasak akan menghemat biaya pengeluaran LPG dari sebelumnya Rp 147 ribu menjadi Rp 118 ribu per bulan.

"Ini kita harap ada penghematan luar biasa yang hampir Rp 60 triliun bisa dialihkan ke kesejahteraan rakyat. Tapi butuh dukungan masyarakat toh hemat 20% dari Rp 147 ribu jadi Rp 118 ribu," jelasnya pada Maret 2021 lalu.

Dengan kondisi saat ini harga LPG yang telah mengalami kenaikan, sementara tarif listrik masih tetap, maka artinya potensi penghematan dari pengalihan LPG ke kompor listrik ini bisa menjadi lebih besar lagi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja meresmikan proses dimulainya pembangunan alias groundbreaking fasilitas pengolahan batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di Kawasan Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, pada 24 Januari 2022 lalu. Produk DME ini bisa menjadi produk alternatif pengganti LPG.

Jokowi pun meyakinkan masyarakat bahwa api dari DME ini serupa dengan api yang dihasilkan dari LPG. Jadi, warga dinilai tidak perlu khawatir terkait produk pengganti LPG ini nantinya.

"Hampir mirip dengan LPG saya lihat, bagaimana api dari DME kalau dibandingkan dengan LPG sama saja," ujarnya saat groundbreaking proyek DME tersebut.

Proyek ini pun ditargetkan tuntas dan bisa mulai didistribusikan ke masyarakat paling cepat 30 bulan dari sekarang atau sekitar pertengahan 2024 mendatang.

Lantas, apakah harga DME bisa lebih murah dibandingkan LPG?

Berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terkait kesepakatan struktur harga DME dari hasil pertemuan tiga menteri, yakni Menteri BUMN, Menteri ESDM, dan Menteri Investasi, diusulkan harga DME ex-factory sebesar US$ 378 per ton, porsinya menjadi kesepakatan antara PTBA dan Air Products.

"Harga DME bersifat fixed-price, tidak ada eskalasi harga batu bara dan Process Service Fee (PSF)," tulis bahan pemaparan Dirjen Minerba, Kamis (20/01/2022).

Sebagai perbandingan, harga LPG merujuk pada Contract Price Aramco (CP Aramco). Saudi Aramco, raksasa minyak asal Arab Saudi, menetapkan harga propana dan butana yang merupakan komponen LPG pada Januari 2022 ini masing-masing sebesar US$ 740 per metrik ton dan US$ 710 per metrik ton, mengutip S&P Global.

Bahkan, pada November 2021 CP Aramco sempat mencapai US$ 847 per metrik ton, harga tertinggi sejak tahun 2014 atau naik 57% sejak Januari 2021.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular