Harga Gas Murah Tapi Kok Serapannya Masih Rendah, Kenapa?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Selasa, 18/01/2022 14:40 WIB
Foto: PGN salurkan gas ke Kawasan Industri GIIC Deltamas, Bekasi, Jawa Barat. (doc. PGN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyampaikan bahwa penyerapan gas untuk sejumlah industri tertentu masih lebih rendah dari yang telah dialokasikan pemerintah meskipun harga gas sudah diturunkan menjadi US$ 6 per MMBTU.

Arief Setiawan Handoko, Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas, mengatakan bahwa penyerapan alokasi gas untuk tujuh golongan industri tertentu dan kelistrikan dari penerapan harga gas US$ 6 per MMBTU ini baru sebesar 85%.

Dia mengatakan, hal ini bukan hanya dikarenakan kendala dari suplai di hulu, namun juga karena saat ini masih terjadi pandemi Covid-19, sehingga kebutuhan gas untuk industri belum meningkat signifikan.


"Sebetulnya volume yang ada di Kepmen (ESDM) itu adalah maksimal dan yang diserap untuk industri dan kelistrikan adalah 85%. Ini penyebabnya adalah salah satunya suplai dari hulu, tetapi juga ada dari hilir penyerapan agak berkurang karena 2020 dan 2021 masih periode pandemi, kebutuhan gas industri belum naik signifikan, jadi serapan 85% dari yang kita rencanakan," jelasnya saat konferensi pers, Senin (17/01/2022).

Dia mengatakan, karena harga gas diturunkan dan dipatok US$ 6 per MMBTU ini, maka ada potensi penurunan pendapatan negara sekitar US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 17 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$) pada 2021. Artinya, lanjutnya, kontribusi sektor hulu migas untuk mendukung industri dan kelistrikan nasional hampir US$ 1,2 miliar.

"Di 2021 ini target penerimaan negara untuk mengompensasi KKKS ini kurang lebih kita berkontribusi ke industri tertentu itu hampir US$ 1,2 billion, itu kontribusi hulu migas untuk mendukung dan support industri dan kelistrikan," paparnya.

Saat ini menurutnya tengah dilakukan pembahasan dengan Kementerian Perindustrian terkait tambahan jenis industri yang akan menerima harga gas US$ 6 per MMBTU ini. Dari usulan 13 tambahan jenis industri yang mendapatkan harga gas murah dari Kemenperin ini, menurutnya sekitar 10 jenis inustri kemungkinan akan disetujui pihaknya. Namun demikian, menurutnya ini masih dalam tahap pembahasan dan belum diputuskan.

"Kita intens rapat dengan Kemenperin, Kemenko Marves, Kementerian Investasi dan Kementerian ESDM untuk membahas tambahan-tambahan usulan dari Kemenperin. Tambahan kurang lebih yang diusulkan sekarang adalah 13 industri tambahan. Kita masih garap kurang lebih juga kita menyetujui, baru ancer-ancer 10 industri, ini belum final, masih pembahasan," paparnya.

Dia mengatakan, yang menjadi pertimbangan pemerintah saat ini yaitu jangan sampai penerimaan negara menjadi minus, sehingga harus dihitung kembali bersama Kementerian Keuangan.

Dia menjabarkan, penghitungan tersebut antara lain terkait penerimaan negara dari hulu migas, lalu dikurangi dengan sejumlah insentif yang disediakan pemerintah, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), reimbursement dari KKKS yang harus dibayarkan kembali oleh pemerintah, biaya DMO, termasuk biaya penjualan migas yang juga dikembalikan ke KKKS.

"Menteri ESDM selalu pesan, dipastikan dulu di Kemenkeu dengan kita tambah 10 industri baru dengan volume bertambah itu penerimaan negara setelah dikurangi faktor pengurang yang saya sebutkan tadi sudah cukup untuk meng-compensate harga gas yang ada di hulu," tuturnya.

Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM 89K/2020, volume gas bumi untuk sektor industri tahun 2020 dialokasikan sebesar 1.205 miliar British thermal unit per hari (BBTUD). Sementara untuk kelistrikan, volume gas bumi di sektor kelistrikan dialokasikan sebesar 1.394,6 BBTUD.

Penurunan harga gas menjadi US$ 6 per MMBTU diperkirakan bakal tetap memberikan keuntungan bagi negara hingga Rp 10,4 triliun hingga 2024. Keuntungan tersebut sudah memperhitungkan dampak penurunan negara hingga Rp 87,4 triliun selama 2020-2024.

Penurunan tersebut terdiri dari penurunan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan dana bagi hasil (DBH) yang menjadi kewenangan Kementerian Keuangan.

Namun demikian, di sisi lain, selama kurun waktu 2020-2024 diperkirakan negara juga akan lebih berhemat hingga Rp 97, 8 triliun. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti penghematan dari konversi pembangkit diesel Rp 13,1 triliun, Rp 54,7 dari penurunan kompensasi listrik.

Lalu, Rp 5,8 triliun dari pajak dan dividen dari industri dan pupuk, dan selanjutnya Rp 24,2 triliun dari penurunan subsidi dari pupuk dan PLN.

Dengan demikian, penurunan harga gas ini diperkirakan tetap akan memberikan keuntungan bagi negara Rp 10,4 triliun.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM No.8 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri, adapun tujuh industri yang menerima harga gas US$ 6 per MMBTU ini antara lain:

1. Industri pupuk
2. Industri petrokimia
3. Industri oleochemical
4. Industri baja
5. Industri keramik
6. Industri kaca
7. Industri sarung tangan karet.

Adapun ke-13 sektor industri tambahan yang diusulkan juga dikenakan harga gas US$ 6 per MMBTU itu antara lain industri ban, makanan dan minuman, pulp dan kertas, logam, permesinan, otomotif, karet remah, refraktori, elektronika, plastik fleksibel, farmasi, semen, dan asam amino.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bahlil Ingatkan Indonesia Jangan Kena Kutukan Sumber Daya Alam