Ribut Terus Soal Batu Bara, Pemerintah Hilang Fokus Dari EBT?
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia kelihatannya dalam jangka panjang masih akan bergantung kepada bauran energi primer fosil, dalam hal ini batu bara. Terbukti, pada awal tahun 2022 ini, Indonesia masih gelagapan menghadapi kurangnya suplai batu bara untuk pembangkit listrik milik PT PLN (Persero) sebagai perusahaan setrum pelat merah.
Sebanyak 20 pembangkit listrik milik PLN berkapasitas lebih dari 10 Giga Watt (GW) terancam padam akibat krisis batu bara. Dampaknya, 10 juta pelanggan listrik PLN hampir mengalami byar pet!
Hal ini tentu menjelaskan bahwa Indonesia masih bergantung pada batu bara. Lalu bagaimana dengan upaya pemerintah mendorong penggunaan energi hijau atau Energi Baru dan Terbarukan (EBT), apakah pemerintah masih fokus?
Dalam hal ini, pemerintah tengah memasang target net zero emission (NZE) atau netral karbon pada tahun 2060. Untuk mendorong itu, pemerintah akan menggenjot penggunaan EBT.
Dari catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penggunaan EBT pada tahun 2060 ditargetkan mencapai 635 Giga Watt (GW) untuk memenuhi kebutuhan listrik sebanyak 1.885 Tera Watt Hour (TWh).
Sementara itu dalam waktu dekat atau tahun 2025 pemerintah memasang target bauran energi nasional untuk EBT sebanyak 23%. Hanya saja, melihat dari data terakhir realisasi pengembangan pembangkit EBT masih sangat mini atau di tahun 2021 baru mencapai 11,1 GW.
Bahkan, realisasi pengembangan EBT itu lebih rendah dari target yang dicanangkan pada tahun 2021 mencapai 11,3 GW. Sejatinya untuk memenuhi bauran EBT 23% di tahun 2025 itu pembangkit EBT yang sudah terbangun mencapai 19 GW.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marinves Septian Hario Seto menyampaikan, pemerintah masih sesuai dengan skenario untuk menggenjot penggunaan pembangkit EBT.
Diprediksi, kata Seto, penggunaan energi primer batu bara akan mengalami face out pada tahun 2055. "Kita memang harus memastikan pasokan batubara sampai kebutuhan PLTU 2055 ini masih bisa berjalan dengan baik, jangan sampai ada salah kebijakan sehingga kita malah importir batubara. ini kita harus memastikan facing out sampai 2055 berjalan dengan baik," terang dia kepada CNBC Indonesia, Kamis (13/1/2022).
Lanjut Seto, ke depan akan ada energy transition mechanisme yang saat ini sedang digodok oleh pemerintah, yang mana pemerintah akan mendorong PLTU batu bara yang dimiliki oleh PLN maupun milik Independent Power Producer (IPP) atau swasta untuk segera dipensiunkan lebih dini.
"Di Jawa dan Sumatra ini geothermal, karena potensi besar dan rencananya geothermal Pertamina Energi merupakan langkah yang tepat. Akan memiliki positioning yang bagus, karena PLTU akan diganti geothermal," terang dia.
Adapun juga, untuk pembangkit jenis solar panel juga tidak akan diabaikan. Pada Desember 2021 lalu, kata Seto, pemerintah sudah bertemu dengan investor. Rencananya, investor tersebut tidak hanya membuat solar panel melainkan juga membawa bahan dasar solar panelnya, yakni silikon yang akan dibuat di Indonesia.
"Di kawasan industri terpadu Batang, Jateng itu nanti akan dibangun di sana, kapasitasnya besar dan akan menggunakan green energy dari PLN. Sehingga nanti bisa untuk pasar ekspor juga. Jadi kita bisa jual solar sel bukan hanya domestik tapi pasar ekspor," tandas Seto.
(pgr/pgr)