Harga Batu Bara Dilepas ke Pasar, Defisit Fiskal Bisa Bengkak

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
14 January 2022 14:30
Kemenkeu RI Raih The Best Ministry di CNBC Indonesia Award 2019 (CNBC Indonesia TV)
Foto: Kemenkeu RI Raih The Best Ministry di CNBC Indonesia Award 2019 (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengungkapkan telah memperhitungkan dampak apabila PT PLN (Persero) membeli harga batu bara sesuai harga pasar, salah satunya adalah dampak terhadap membengkaknya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Plt. Kepala Pusat Kebijakan APBN Wahyu Utomo menjelaskan, pada hakikatnya solusi untuk pemenuhan suplai batu bara di dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) telah mempertimbangkan keseimbangan antara upaya untuk menjaga keberlangsungan suplai batu bara ke PLN.

Di samping itu, pemenuhan DMO batu bara juga untuk menjaga keberlanjutan ekonomi, aspek sosial masyarakat serta keberlanjutan fiskal.

Dari catatannya, sejak awal 2021 tren harga batu bara mengalami peningkatan signifikan hingga menyentuh harga US$ 121 per ton pada 2021. Sehingga terjadi gap antara harga batu bara di pasar dengan harga DMO batu bara di dalam negeri yang dipatok sebesar US$ 70 per ton.

"Hal ini mendorong perusahaan batu bara untuk meningkatkan ekspor, sehingga suplai batubara kepada PLN untuk pemenuhan kebutuhan DMO kurang optimal," jelas Wahyu kepada CNBC Indonesia, Jumat (14/1/2022).

Kondisi tersebut, kata Wahyu apabila tidak dimitigasi, berpotensi pada risiko pemadaman skala besar yang dapat mengganggu tren pemulihan ekonomi.

Atas hal itu, pemerintah saat ini sedang mengkaji opsi-opsi untuk menyelesaikan permasalahan DMO batu bara ke PLN. Salah satu opsi yang ditempuh yakni membentuk badan layanan umum (BLU) pungutan batu bara dan melepas pembelian batu bara ke produsen dengan harga pasar.

"BKF telah melakukan mitigasi apabila PLN membeli harga batu bara setara dengan market price, namun disertakan dengan kebijakan untuk menutup gap harga pasar batu bara dengan harga cap DMO sebelumnya," jelas Wahyu.

Nah, kata Wahyu kenaikan harga batu bara setara market price tentu akan berimplikasi pada kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Kenaikan BPP tersebut harus dimitigasi dengan baik.

"Apakah di pass through ke konsumen lewat kenaikan tarif dasar listrik (TDL), melalui kenaikan belanja subsidi dan kompensasi listrik, atau via iuran DMO produksi batubara," jelas Wahyu.

Dari fiskal, perubahan harga beli PLN akan berdampak pada sisi pendapatan dan belanja negara.

Wahyu menerangkan, dari sisi pendapatan, kenaikan harga beli berpotensi meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), khususnya royalti dan penjualan hasil tambang (PHT). PPh badan juga diperkirakan akan meningkat karena pendapatan perusahaan batu bara meningkat.

Sementara dari sisi belanja di APBN, kenaikan harga beli batu bara oleh PLN akan mendongkrak biaya produksi dan listrik yang bertransmisi ke belanja subsidi dan kompensasi pemerintah.

Selain itu, kata Wahyu kenaikan pendapatan negara juga akan meningkatkan transfer ke daerah dan diikuti meningkatnya mandatory spending atau pengeluaran kebutuhan pokok.

"Kenaikan belanja subsidi dan kompensasi berkontribusi signifikan, sehingga diperkirakan total tambahan belanja lebih besar daripada tambahan pendapatan," jelas Wahyu.

Pada akhirnya, karena tambahan belanja lebih besar daripada tambahan pendapatan, membuat defisit APBN semakin membengkak, dan akan mempengaruhi keberlangsungan fiskal ke depannya.

"Hal ini memberikan tekanan pada tambahan defisit fiskal dan mempengaruhi fiscal sustainability," kata Wahyu melanjutkan.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pecah Rekor! Produksi Batu Bara RI di 2023 Tembus 775 Juta Ton

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular