
Welcome Perang Dagang Season II, AS Larang Impor China

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, sepertinya memasuki episode baru. Pemerintahan Joe Biden kemarin resmi menandatangani UU baru yang melarang impor barang dari Xinjiang China.
Hal ini terkait isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan China ke kelompok minoritas Muslim di provinsi itu, salah satunya Uighyur. Bukan hanya larangan impor, AS juga menjatuhkan sanksi pada apa yang mereka sebut "kerja paksa" di wilayah itu.
UU ini sebelumnya dibahas di Senat AS setelah disahkan di DPR AS. Paman Sam menganut sistem dua kamar, yang legislatifnya terdiri atas Senat dan DPR.
China sendiri belum berkomentar soal ini.
Sebelumnya, Departemen Luar Negeri AS, Departemen Perdagangan, Keamanan Dalam Negeri dan Tenaga Kerja seta Kantor Perwakilan Dagang AS telah mengeluarkan peringatan ke perusahaan-perusahaan yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan China di Xinjiang. Di mana bisnis yang terkait dengan Xinjiang berisiko tinggi melanggar hukum AS.
Ini juga membuat sejumlah perusahaan mengeluarkan aturan melarang pasokannya bersumber dari Xinjiang. Intel, pembuat chip asal AS, adalah salah satunya.
"Memastikan bahwa rantai pasokannya tidak menggunakan tenaga kerja atau sumber barang atau jasa dari wilayah Xinjiang," bunyi surat edaran perusahaan.
Surat itu memicu reaksi di Cina, di mana Intel mempekerjakan sekitar 10.000 orang. Kemarin perusahaan merilis pernyataan maaf ke Cina dan mengatakan keputusan untuk menghindari pasokan dari Xinjiang diperlukan untuk mematuhi hukum AS dan bukan terkait HAM.
Sementara Gedung Putih melalui Sekretaris Pers Jen Psaki mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika seharusnya tidak pernah merasa perlu untuk meminta maaf ke China. Karena yang dibela adalah HAM dan penindasan.
"Kami meminta semua industri untuk memastikan bahwa mereka tidak mencari produk yang melibatkan kerja paksa, termasuk kerja paksa dari Xinjiang," tambahnya.
Pemerintahan Biden juga memberlakukan pembatasan perdagangan dan sanksi baru pada 34 entitas China. Ini sempat dibalas Kedutaan Besar China di Washington, D.C., menolak klaim AS sebagai sama sekali tidak berdasar.
Halaman 2>>