Internasional

Welcome Perang Dagang Season II, AS Larang Impor China

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
24 December 2021 07:02
Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden
Foto: Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden (AP/Damian Dovarganes)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, sepertinya memasuki episode baru. Pemerintahan Joe Biden kemarin resmi menandatangani UU baru yang melarang impor barang dari Xinjiang China.

Hal ini terkait isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan China ke kelompok minoritas Muslim di provinsi itu, salah satunya Uighyur. Bukan hanya larangan impor, AS juga menjatuhkan sanksi pada apa yang mereka sebut "kerja paksa" di wilayah itu.



UU ini sebelumnya dibahas di Senat AS setelah disahkan di DPR AS. Paman Sam menganut sistem dua kamar, yang legislatifnya terdiri atas Senat dan DPR.

China sendiri belum berkomentar soal ini.

Sebelumnya, Departemen Luar Negeri AS, Departemen Perdagangan, Keamanan Dalam Negeri dan Tenaga Kerja seta Kantor Perwakilan Dagang AS telah mengeluarkan peringatan ke perusahaan-perusahaan yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan China di Xinjiang. Di mana bisnis yang terkait dengan Xinjiang berisiko tinggi melanggar hukum AS.

Ini juga membuat sejumlah perusahaan mengeluarkan aturan melarang pasokannya bersumber dari Xinjiang. Intel, pembuat chip asal AS, adalah salah satunya.

"Memastikan bahwa rantai pasokannya tidak menggunakan tenaga kerja atau sumber barang atau jasa dari wilayah Xinjiang," bunyi surat edaran perusahaan.

Surat itu memicu reaksi di Cina, di mana Intel mempekerjakan sekitar 10.000 orang. Kemarin perusahaan merilis pernyataan maaf ke Cina dan mengatakan keputusan untuk menghindari pasokan dari Xinjiang diperlukan untuk mematuhi hukum AS dan bukan terkait HAM.


Sementara Gedung Putih melalui Sekretaris Pers Jen Psaki mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika seharusnya tidak pernah merasa perlu untuk meminta maaf ke China. Karena yang dibela adalah HAM dan penindasan.

"Kami meminta semua industri untuk memastikan bahwa mereka tidak mencari produk yang melibatkan kerja paksa, termasuk kerja paksa dari Xinjiang," tambahnya.

Pemerintahan Biden juga memberlakukan pembatasan perdagangan dan sanksi baru pada 34 entitas China. Ini sempat dibalas Kedutaan Besar China di Washington, D.C., menolak klaim AS sebagai sama sekali tidak berdasar.



Halaman 2>>

Sementara itu, perang dagang AS-China diyakini akan makin buruk. Bahkan ketegangan mungkin membawa "bencana ekonomi" dan membawa ke perang terbuka.

Hal ini setidaknya dikatakan miliarder asal Amerika Serikat (AS), Ray Dalio. Ia sebelumnya pernah meramalkan krisis keuangan di 2008.

"Saya pikir kita berisiko perang dengan China," tegasnya saat melakukan wawancara dengan CNBC International di program CNBC Make It."Sebagian besar karena kesalahpahaman," tambahnya.

Dalio menegaskan prediksi ini bukanlah pasti. Dia juga bisa salah seperti sebelumnya. Tapi, katanya, bencana di masa depan tidak bisa dihindari. Ini sesuai dengan "pola sejarah" selama 500 tahun terakhir.

Secara rinci, dalam bukunya "Principles for Dealing with the Changing World Order," Dalio menulis perang bisa terjadi karena perang dagang dengan China akan makin buruk. Upaya Amerika untuk membuat China dan budayanya "lebih Amerika" pada akhirnya bisa menjadi bumerang memicu konflik lebih luas.

Padahal, perang dagang yang dimulai oleh administrasi mantan Presiden AS Donald Trump pada 2018 telah menyebabkan penderitaan ke perusahaan-perusahaan Amerika. Mulai dari memangkas upah, menurunkan margin keuntungan, dan menaikkan harga konsumen.

Dalam laporan Moody's Analytics, perang dagang juga telah memakan korban 300.000 pekerjaan di AS, di tahun pertama itu terjadi. Tahun lalu, studi bank sentral AS The Fed menyebut perang dagang menghabiskan US$ 1,7 triliun.


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular