Anies Nekat Revisi UMP 2022, Ternyata Jadi Sentimen Negatif!
Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi nilai kenaikan upah minimum provinsi DKI Jakarta tahun 2022, dari yang semula hanya naik 0,85% menjadi 5,1%. Langkah Anies ini jadi sentimen negatif bagi pasar dan mendorong buruh lain di luar DKI mendesak hal yang sama.
Kenaikan sebesar 6x lipat ini sangat jauh berbeda dengan anjuran Kementerian Tenaga Kerja yang memberi panduan kenaikan rata-rata UMP 2022 tidak lebih dari 1,09% untuk tahun depan. Praktis, dunia usaha pun dibuat terkejut.
Analisa Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro, Raden Rami Ramdana, dan Drewya Cinantyan menilai karena preseden di Jakarta, ada kemungkinan serikat pekerja juga akan berunjuk rasa di provinsi lain menuntut upah yang lebih tinggi.
"Misalnya, UMP di Jawa Barat dan Jawa Tengah saat ini hanya Rp1,8 juta sebulan. Pemimpin provinsi di sana (Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo) disebut-sebut sebagai calon kuat presiden pada 2024. Dan jika mereka tunduk pada tuntutan buruh, dampaknya bisa dirasakan oleh kawasan industri seperti Karawang atau Kendal," sebutnya.
Pada akhirnya, biaya tenaga kerja perusahaan dari Astra International hingga Unilever dapat terpengaruh. Padahal, Jakarta sudah memiliki UMP tertinggi secara nasional. Dengan Rp4,6 juta per bulan, upah minimum di Jakarta secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar Rp2,7 juta.
"Upah minimum ibu kota meningkat rata-rata 13,3% yoy (CAGR) dalam sepuluh tahun terakhir. UMP di Jakarta hanya mencapai Rp1,1 juta pada tahun 2010. Peningkatan tersebut sudah lebih tinggi dari tingkat inflasi rata-rata sekitar 4%, dan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sebesar 2,8%," tulisnya.
Kenaikan upah ini bak buah simalakama, memang berpotensi bakal meningkatkan daya beli, namun kalangan pengusaha menilai bakal menggagalkan pemulihan pasar kerja. Dengan upah Rp 4,4 juta atau USD308 per bulan, upah minimum Kawasan Industri Karawang Jakarta dan sekitarnya merupakan yang tertinggi di ASEAN.
"Ini lebih tinggi daripada di Vietnam (USD181) dan Thailand (USD214), meskipun produktivitas tenaga kerja di Indonesia lebih rendah. Menaikkan upah minimum selama masa ekonomi sulit, dalam pandangan kami, hanya akan menghambat investasi dan proses perekrutan kembali yang dapat berdampak negatif pada pasar tenaga kerja," sebutnya.
(hoi/hoi)