Mau Netral Karbon, Tapi Investasi EBT Selalu di Bawah Rp28 T!
Jakarta, CNBC Indonesia - Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan saat ini penerapan energi baru terbarukan baru mencapai 11%. Pun investasinya masih di bawah US$ 2 miliar atau Rp 28,8 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$).
Spesialis Bahan Bakar Bersih IESR Julius Christian Adiatma mengungkapkan bahwa pengembangan EBT untuk menggantikan batu bara di Indonesia masih lambat dan belum banyak berkembang dalam beberapa tahun terakhir.
"Sepanjang beberapa tahun terakhir termasuk 2021 ini, investasi ke energi baru terbarukan selalu di bawah US$ 2 miliar kurang lebih, jauh dibandingkan energi fosil," ujarnya dalam sebuah diskusi, Senin (20/12/2021).
"Perbandingan investasi energi baru terbarukan dan pembangkit fosil termasuk di batu bara, pertambangan, dan sebagainya masih kalah. Energi baru terbarukan masih sepertiga (1/3) dari investasi pembangkit dan fosil dua per tiganya (2/3)," kata Julius melanjutkan.
Padahal, menurut IESR dekarbonisasi sektor energi membutuhkan biaya yang besar, sekitar US$ 20-25 miliar per tahun, sesuai kajian IESR tentang Dekarbonisasi Sistem Energi Indonesia 2021.
Julius mengungkapkan selama ini pendanaan perbankan terhadap sektor energi masih didominasi untuk batu bara. Hal itu turut berkontribusi pada minimnya investasi di sektor energi hijau.
Berbagai lembaga internasional seperti World Bank memang bisa dijadikan sources atau sumber pendanaan, namun sifatnya lebih kepada pinjaman lunak untuk perubahan iklim.
"Sebagian besar tidak ke energi baru terbarukan, tapi ke lahan, dan sebagainya," ujarnya.
Selain itu juga, akses pinjaman dana di perbankan juga sulit, karena tarif energi baru terbarukan yang mahal dan seringkali sumber-sumber dana ini tidak bisa direalisasikan menjadi proyek.
"Karena memang dari beberapa bank, kami dapat informasinya, mereka bilang bahwa pengetahuan mereka atau kapasitas mereka untuk akses energi baru terbarukan masih terbatas sampai saat ini," tuturnya.
Bahkan, imbuhnya, sampai sekarang belum menunjukkan adanya perkembangan yang berarti, karena bank-bank juga masih mengalami kegelisahan yang sama.
"Apakah berisiko untuk berinvestasi di energi baru terbarukan dibandingkan batu bara? Sebagian besar bilang gak juga, resikonya sama saja antara energi baru terbarukan dan batu bara," katanya.
"Mungkin mereka tak terbiasa untuk assessment di proyek-proyek terbarukan, itu butuh bantuan pemerintah dan swasta untuk support di situ," tuturnya.
Meski dari pemerintah ada inisiatif seperti green bond atau pinjaman-pinjaman yang non konvensional, namun menurutnya sampai sekarang belum banyak realisasinya untuk energi baru terbarukan.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menambahkan, pendanaan energi terbarukan seharusnya tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebuah kesempatan dan strategi untuk mengalihkan investasi energi terbarukan.
Pemerintah dapat menggunakan APBN-nya untuk menarik investasi dari sumber pendanaan tersebut. Misalnya, imbuhnya, dengan melakukan pemetaan sumber daya energi terbarukan, melakukan riset teknologi, dan mengadakan pilot project untuk proyek baru energi terbarukan yang belum dikembangkan seperti energi laut, serta menyediakan instrumen derisking untuk menarik investasi.
"Kesempatan menuju energi bersih seharusnya tidak dilihat pemerintah sebagai beban. Presiden (Joko Widodo) bilang jangan jadi beban APBN," jelas Faby.
Padahal dengan memprioritaskan energi fosil batu bara, menurutnya ini akan membebani keuangan negara dan ini tidak konsisten dan harus mengubah kebijakan APBN.
Pemerintah, menurut Faby, bisa mengakali dengan memberikan subsidi kepada masyarakat pengguna PLN 900 VA untuk memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
"Pelanggan PLN 900 VA itu ada 4,5 juta rumah tangga yang disubsidi dan kalau 4,5 juta dipasangi sudah terkoneksi 1 kWp energi baru terbarukan. Sementara ada 4,5 Giga Watt (GW) dan lakukan saja 1 juta pelanggan dari 2022-2025," jelasnya.
"Dengan begitu, di ujung 2025 bisa hemat subsidi dan PLN bisa kelola 4,5 GW. Menurut saya itu bukan beban, Kementerian Keuangan harus lebih pintar saja mengelola keuangan," pungkas Faby.
(wia)