
Dorong Energi Bersih, RI Butuh Investasi Rp 360 T/Tahun!

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan untuk mendorong energi bersih di Indonesia dibutuhkan dana yang fantastis.
Arifin menjelaskan modal utama dalam transisi energi menuju netral karbon atau Net Zero Emission (NZE) pada 2060 adalah ketersediaan dan pengembangan energi baru terbarukan yang masif.
Dia menyebut, diperkirakan butuh investasi sekitar US$ 25 miliar per tahun atau sekitar Rp 360 triliun per tahun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$) untuk mencapai target netral karbon hingga 2060.
Pemerintah sendiri saat ini, kata dia, tengah memetakan pengembangan energi baru terbarukan yang masif dengan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pemanfaatan hidrogen, dan pengembangan storage dari sisi demand melalui kompor listrik, kendaraan listrik berbasis baterai, serta pengembangan interkoneksi smart grid dan panas bumi.
"Total investasi kelistrikan diproyeksikan US$ 1 triliun pada 2060 atau US$ 25 miliar (atau setara dengan Rp 360 triliun) per tahun. Diharapkan dengan dukungan teknologi yang kompetitif bisa menekan jumlah investasi tersebut," jelas Arifin dalam sebuah webinar, Selasa (21/12/2021).
Dalam mendorong transisi energi, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga telah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, dengan rencana tambahan pembangkit energi baru terbarukan 20,9 Giga Watt (GW) atau 51,6% dari total tambahan pembangkit hingga 2030.
"Sehingga PLTU 1,1 Giga Watt dan bisa teralisasi diubah menjadi PLTS dan co-firing biomassa, sehingga bisa tercapai EBT 23% pada 2025," tuturnya.
Terpenting, kata Arifin, pengembangan pembangkit energi baru terbarukan menghitungkan supply dan demand, kesiapan sistem, keekonomian dan diikuti dengan kemampuan domestik untuk produksi pembangkit energi baru terbarukan, sehingga Indonesia tidak perlu mengimpor.
Diharapkan dengan pengembangan pembangkit energi baru terbarukan bisa mengurangi emisi signifikan, khususnya setelah 2040 atau setelah selesainya kontrak pembangkit fosil.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai pemerintah masih gamang melakukan transisi energi didasarkan pada pemahaman energi baru terbarukan yang mahal.
Terlihat, kata Fabby, dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pernah mengatakan bahwa transisi energi harus dilakukan tanpa membebankan APBN dan tanpa menimbulkan kenaikan tarif listrik.
"Bisa diartikan dari energi fosil jadi energi baru terbarukan akan menimbulkan beban fiskal dan menyiratkan pesan transisi energi jika ada bantuan asing saja. Biaya transisi energi seharusnya tidak dipandang jadi beban," tuturnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Akan Jadi Andalan Energi Masa Depan, Harta Karun Ini Digenjot
