PR Besar RI Capai Netral Karbon, dari Politik Hingga Duit!

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
21 December 2021 20:14
Kebun Angin Pertama RI
Foto: Ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai seluruh pemangku kepentingan harus berkomitmen penuh untuk mencapai target netral karbon atau Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.

Peneliti Senior Energi Baru Terbarukan IESR Handriyanti Diah Puspitarini menjelaskan, berdasarkan analisanya, kesiapan Indonesia dalam mencapai target netral karbon tersebut membutuhkan keseriusan di dalam empat faktor.

"Di antaranya politik dan regulasi, investasi dan pendanaan, tekno ekonomi, dan sosial," ungkapnya dalam sebuah webinar, Selasa (21/12/2021).

Handriyanti merinci, komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon telah tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dalam Paris Agreement, di mana Indonesia berkomitmen untuk bisa menurunkan emisi 29% secara mandiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030.

Komitmen Indonesia di dalam dokumen NDC tersebut menurutnya tak berubah dari komitmen di tahun-tahun sebelumnya.

Begitu juga dengan strategi jangka panjang pemerintah untuk mencapai netral karbon pada 2060, menurutnya dinilai masih belum cukup untuk bisa mencapai target tersebut.

"Ada skenario PLTU 38% dan 68% sisanya akan dilengkapi carbon capture and storage (CCS). Perlu dicatat, teknologi ini masih baru, sehingga bisa mengakibatkan LCOE (Levelized Cost of Electricity) untuk PLTU-PLTU tersebut," jelas Handriyanti.

Kemudian, adanya Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), di mana target energi baru terbarukan 23% pada 2025 dan 31% pada 2030, menurutnya juga diproyeksi tak akan tercapai.

Dari sisi pendanaan, alokasi APBN sendiri, berdasarkan catatan IESR, alokasinya masih lebih banyak untuk energi fosil dibandingkan energi terbarukan.

Bahkan, berdasarkan survei IESR kepada pengembang energi terbarukan, sebesar 85% menyatakan kurang adanya dukungan dari pemerintah untuk mendukung pendanaan ke proyek-proyek energi baru terbarukan.

"Di bidang implementasi berdasarkan catatan dari Ditjen Ketenagalistrikan, hingga September 2021, batu bara masih dominasi 66% dan energi baru terbarukan hanya sebesar 11% di sektor ketenagalistrikan," jelasnya.

Dalam kestabilan regulasi, Handriyanto menilai bahwa antara komitmen pemerintah dan regulasinya tak berjalan beriringan.

"Dalam bidang transisi energi, karena levelnya medium, kualitas udara, standar emisinya masih rendah dari standar yang diterapkan global," ujarnya lagi.

Dari sisi investasi terhadap pembangkit EBT menurutnya juga masih loyo, karena jumlah investasi di bidang energi fosil masih lebih tinggi. Hal ini, imbuhnya, disebabkan oleh beberapa regulasi yang ada yang membuat investor masih urung untuk menanamkan modal di EBT.

Handriyanti mencontohkan, seperti implementasi Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017 menyebabkan proyek energi terbarukan dipandang sebagai proyek yang sulit mendapat pendanaan dari bank (unbankable), dan Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT yang masih belum diluncurkan oleh pemerintah.

Masalah lainnya, risiko investasi dan kemudahan investor untuk menanamkan modalnya, karen bank-bank lokal masih lebih rendah mengalokasikan pinjaman ke proyek EBT dibandingkan untuk batu bara di tahun ini.

"Terdapat 69% developer yang menyatakan bahwa kredit untuk pinjaman ke bank-bank lokal untuk proyek EBT masih tinggi dan membutuhkan bantuan dari pemerintah. Seperti contohnya dukungan dalam bentuk soft loan (pinjaman lunak) atau insentif," jelasnya.

Kemudian pada tekno ekonomi, IESR menemukan terdapat beberapa peningkatan di bidang power system planning dan keekonomian EBT.

Di bidang keekonomian EBT, diperkirakan biaya pengembangan EBT akan semakin menurun seiring tren global karena harga-harga teknologinya mulai menurun.

"Yang perlu dicatat adalah pernyataan developer-developer yang kami survei, developer sebenarnya bisa akses teknologi-teknologi yang murah, tapi sebagian besar teknologi tersebut masih diimpor, karena secara lokal kurang dalam bentuk kualitas dan kuantitas," ujarnya.

Sementara itu, di faktor sosial, dari survei kepada 1.000 masyarakat di Indonesia melalui kuesioner secara online, IESR melihat adanya kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk bertransisi energi.

Sebagian besar masyarakat, kata Handriyanti, mulai sadar dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global, dan mereka menilai isu ini penting untuk mulai diangkat oleh pemerintah.

"Masyarakat juga setuju untuk mulai berhenti menggunakan batu bara di kelistrikan dan penggantinya bisa merupakan dari surya, angin, dan air," tuturnya.

Menurutnya, kesimpulannya adalah terdapat sedikit peningkatan dalam bidang transisi energi di Indonesia, namun itu semua belum cukup.

"Ada peningkatan kualitas di regulasi dan sosial, namun di faktor komitmen pemerintah dan iklim investasi masih sama seperti hasil di tahun sebelumnya," pungkasnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gak Ada Duit, Kiamat Batu Bara Masih Lama!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular