Dengar Kata Bu Menkeu: Merokok Sehat Kagak, Tambah Miskin Iya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 December 2021 09:14
Petugas Satpol PP Jakarta Barat menutup gerai minimarket yang menjual rokok di Alfamart, Jakarta Barat, Selasa (14/9/2021). (CNBC Indonesia/Tri Suisilo)
Foto: Petugas Satpol PP Jakarta Barat menutup gerai minimarket yang menjual rokok di Alfamart, Jakarta Barat, Selasa (14/9/2021). (CNBC Indonesia/Tri Suisilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar rata-rata 12% untuk 2022. Tujuan utama kenaikan cukai rokok adalah untuk menekan konsumsi.

Saat tarif cukai naik, otomatis harga jual rokok ikut terdongkrak. Harga rokok menjadi lebih mahal sehingga menurunkan minat masyarakat untuk menjadi pecandu nikotin.

"Bapak Presiden setuju dengan kenaikan cukai rokok rata-rata adalah 12%. Berlaku mulai Januari dan Bapak Presiden meminta kita bisa menjalankan mulai 1 Januari," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam konferensi pers kemarin.

Pengendalian konsumsi, lanjut Sri Mulyani, jadi faktor utama kenaikan tarif cukai. Tidak bisa dipungkiri, rokok adalah salah satu penyebab utama masalah kesehatan di Tanah Air.

"Perokok tidak mengurangi konsumsi rokoknya, bahkan pada masa pandemi. Biaya kesehatan akibat rokok mencapai Rp 17,9-27,7 triliun. yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan. Artinya, 20-30% dari subsidi PBI (Penerima Bantuan Iuran) per tahun yang Rp 48,8 triliun adalah untuk membiayai biaya perawatan akibat dampak rokok," ungkap Bendahara Negara.

Halaman Selanjutnya --> Tinggi, Konsumsi Rokok Rumah Tangga Miskin

Kemudian yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah prevalensi merokok di rumah tangga miskin. Sri Mulyani menyebut rokok adalah konsumsi terbesar kedua di kalangan rumah tangga miskin, hanya kalah dari beras.

"(Pengeluaran untuk rokok) dibandingkan dengan komoditas lain seperti sumber protein ayam, telur, tempe, roti, dan lain-lain, rokok jelas jauh lebih tinggi. Rokok menjadikan rumah tangga miskin makin miskin, karena uang untuk meningkatkan ketahanan rumah tangga digunakan untuk rokok," terang Sri Mulyani.

Pernyataan Sri Mulyani bukan pepesan kosong. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rokok rumah tangga miskin memang sangat tinggi.

Per Maret 2021, konsumsi rokok rumah tangga miskin di perkotaan adalah 11,9%. Hanya kalah dari beras yang 20.03%.

Di perdesaan pun serupa. Konsumsi rokok mencapai 11,24%, hanya lebih rendah dari beras yang 24,06%.

Ada fenomena yang mengkhawatirkan. Di rumah tangga miskin perdesaan, konsumsi beras dan rokok pada Maret 2020 masing-masing adalah 25,31% dan 10,98%. Setahun kemudian, konsumsi beras turun dan rokok malah naik.

Artinya, rumah tangga miskin di perdesaan terlihat lebih mengutamakan membeli rokok ketimbang beras. Wow...

miskinSumber: BPS

"(Kenaikan tarif cukai rokok) mendorong agar rokok makin tidak terjangkau masyarakat yang kita lindungi yakni anak-anak dan orang miskin. Makin mahal, makin nggak bisa dijangkau, itu tujuannya," tegas Sri Mulyani.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular