
Ada Transisi Energi, Gimana Nasib 'Harta Karun' Tambang RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia tak terkecuali Indonesia sedang gencar melakukan peralihan penggunaan energi dari fosil menuju ke energi terbarukan. Hal itu untuk mengejar target karbon netral pada 2060 atau lebih cepat.
Lalu, bagaimana nasib "harta karun" tambang di Indonesia dengan adanya transisi energi ini, apakah artinya akan langsung ditinggalkan?
Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman menyarankan agar proses transisi ke energi hijau harus mempertimbangkan banyak aspek, jangan sampai transisi menuju ke net zero emission ini justru menyia-nyiakan potensi sumber daya alam fosil yang masih berlimpah di Indonesia.
"Transisi menuju net zero emisi harus benar-benar dijadikan proses transisi zero emisi tanpa harus sia-siakan sumber daya alam fossil fuel yang ada di negara kita," ungkapnya dalam webinar terkait transisi energi, Rabu (08/12/2021).
Yang jelas saat ini, kata Maman, Komisi VII DPR bersama dengan pemerintah dan mitra di industri energi sedang berupaya agar bisa memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya alam yang ada. Sehingga, lanjutnya, jangan sampai Indonesia terburu-buru melakukan transisi dan tidak memanfaatkan anugerah sumber daya alam yang ada.
Menurutnya, sumber daya alam fosil yang ada, jika tidak dimanfaatkan saat ini, maka di tahun 2060 sesuai dengan target karbon netral, sumber daya fosil tidak bisa lagi dinikmati.
"Jangan sampai 2060 tiba kita seperti melihat makan di depan mata, luar biasa enak tapi gak bisa menikmati di 2060," tuturnya.
Atas dasar perkataannya itu, menurutnya bukan berarti pihaknya tidak menyetujui langkah pemerintah untuk mengejar target karbon netral di tahun 2060 atau lebih cepat. Secara prinsip, pihaknya setuju dan mendukung.
"Saya setuju dengan net zero, tapi bukan berarti kita abaikan sumber daya alam Indonesia," tegasnya.
Seperti yang diketahui, salah satu langkah untuk mengejar capaian karbon netral tahun 2060 mendatang itu, pemerintah secara tegas mengatakan akan meninggalkan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau pembangkit yang menggunakan bahan bakar batu bara.
Tapi yang perlu diketahui juga, ongkos produksi listrik dari batu bara masih lebih murah ketimbang produksi listrik dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Sehingga, jika pengurangan PLTU dipercepat, artinya akan ada tambahan biaya, terutama untuk mengembangkan EBT yang harga listriknya jauh lebih mahal dibandingkan listrik batu bara dan pertanyaan selanjutnya yaitu siapa yang akan menanggungnya?
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, Indonesia tidak akan menghimpun iba kepada negara lain agar pengurangan PLTU bisa lebih cepat.
"Kita menawarkannya, kalau kamu mau ikut dukung, ayo kita bisa lakukan 2050, kita bisa lakukan 2040, tetapi tunjukkan kami uangnya mana, uangnya itu yang kemarin mengemuka di Glasgow," kata Rida dalam webinar, Selasa (23/11/2021).
Menurutnya, Menteri hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan bahwa pemerintah mau membantu percepatan pengurangan PLTU, namun lagi-lagi itu terjadi jika ada dana untuk menutup selisih biaya antara energi fosil dan EBT.
"US$ 100 miliar ya di kertas saja diomongin saja, yang kita inginkan duitnya mana," lanjutnya.
Data BP Statistical Review 2021 menyebut RI merupakan pemilik cadangan batu bara terbesar ketujuh di dunia mencapai 34,87 miliar ton, statusnya ini berlaku hingga akhir 2020.
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, status per Juli 2020, jumlah sumber daya batu bara RI mencapai 148,7 miliar ton dan cadangan 39,56 miliar ton.
Adapun jumlah produksi batu bara pada 2021 ini ditargetkan sebesar 625 juta ton, di mana 137,5 juta ton ditargetkan diserap oleh dalam negeri, dan sisanya diekspor.
PT PLN (Persero) memperkirakan kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik hingga akhir 2021 ini mencapai 115,6 juta ton.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Benci Tapi Rindu, Batu Bara Jadi Lapangan Kerja Banyak Orang
