
'Jebakan Batman' Utang China Hantui Negara Ini, RI Juga?

Jakarta, CNBC Indonesia - China melalui Presiden Xi Jinping berambisi untuk menciptakan hegemoni baru dalam perekonomian dunia. Tak tanggung-tanggung, berbagai proyek infrastruktur ditawarkan kepada negara-negara yang masuk dalam cincin perdagangan China.
Namun sebuah penelitian menyebut bahwa program pendanaan China, Belt and Road Initiative (BRI) disebut menjerat negara-negara berkembang dengan utang 'tersembunyi' bernilai ratusan miliar dolar AS.
Formatnya cukup sederhana, negara-negara berkembang hanya perlu mempersiapkan proyek oleh pemerintah setempat, khususnya di sektor transportasi dan energi. Selanjutnya China langsung memberikan pinjaman jangka panjang dengan bunga yang sangat kompetitif.
Akan tetapi beberapa negara justru tidak mampu menjalankan proyek secara tepat. Sehingga proyek mangkrak dan pemerintah tersebut terpaksa menanggung utang besar.
Uganda menjadi salah satu 'korban' terbaru yang dilaporkan tersandung 'jebakan' utang China tersebut. Disebut salah satu negara di Afrika Timur ini terancam kehilangan Bandara Internasional Entebbe, satu-satunya bandara internasional yang menangani lebih dari 1,9 juta penumpang per tahun.
Namun Uganda dikatakan tengah berusaha mengubah perjanjian pinjamannya dengan China. Ini untuk memastikan bandara internasionalnya dan sejumlah aset tidak hilang karena gagal bayar (default).
Menurut laporan Gulf News yang melansir Bloomberg, perjanjian itu dibuat tahun 2015. Negara itu meminjam US$ 200 juta (sekitar Rp 2,8 trilliun) dari Bank Export-Import (EXIM) China untuk memperluas bandara Entebbe.
Klausul yang ingin diubah antara lain, perlunya Otoritas Penerbangan Sipil Uganda untuk meminta persetujuan dari pemberi pinjaman China untuk anggaran dan rencana strategisnya. Aturan lain mengamanatkan bahwa setiap perselisihan antara para pihak harus diselesaikan oleh Komisi Arbitrase Ekonomi dan Perdagangan Internasional China.
Uganda sudah mencoba bernegosiasi sejak Maret 2021. Namun sejauh ini belum berhasil. Pinjaman itu sendiri memiliki tenor 20 tahun, termasuk masa tenggang tujuh tahun.
Kehilangan bandara sebenarnya dibantah Uganda dan China. Namun tak ada konfirmasi lebih lanjut soal negosiasi ulang ini.
Sebelumnya, Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva memang sempat mengingatkan soal tingginya risiko utang negara-negara berkembang. Pada masa mendatang, beban utang yang tinggi akan membebani seluruh pelaku ekonomi.
"Beban utang ini bisa membebani laju pertumbuhan ekonomi. Beban utang akan membuat pemerintah, korporasi, sampai rumah tangga mengetatkan ikat pinggang," kata Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, seperti diberitakan AFP.
Oleh karena itu, Georgieva menegaskan bahwa utang harus dikelola secara berkelanjutan (sustainable). Termasuk membuat prosesnya lebih transparan dan mempersiapkan skema restrukturisasi, terutama kepada para kreditur non-tradisional.
Mengutip riset CNBC Indonesia, banyak kalangan menilai kreditur non-tradisional yang dimaksud Georgieva adalah China. Ini dikaitkan dengan program BRI.
World Pension Council (WPC) mencatat kebutuhan pembiayaan infrastruktur di Asia saja mencapai US$ 900 miliar per tahun selama 10 tahun ke depan. Ini adalah peluang yang dibaca oleh China.
Di data Oktober, IMF dalam laporan 2021 Fiscal Monitor Report mengungkapkan total utang dunia mencapai US$ 226 triliun pada 2020. Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 3.199.030 triliun.
Halaman 2>>