Biden Pening! AS Diserang 'Kiamat Babi', Default & Resesi
Jakarta, CNBC Indonesia - Rangkaian masalah nyatanya tak hanya menghantam China namun juga Amerika Serikat (AS). Kali ini, negara pimpinan Presiden Joe Biden itu juga mengalami masalah mulai dari mahalnya harga daging, gas, Covid-19 hingga terancam resesi.
AS mulai dilanda kenaikan harga daging yang cukup signifikan pekan ini. Untuk daging babi, harga komoditas itu dilaporkan naik sekitar 14,1% dibandingkan tahun lalu.
Kenaikan ini membuat beberapa pakar menyebutnya sebagai "bacon apocalypse" atau kiamat daging babi asap. Babi asap sendiri merupakan makanan khas negara bagian pengonsumsi babi terbanyak di AS, California.
Fenomena ini pun diketahui tidak terlepas dari dampak rantai pasokan yang terganggu serta inflasi yang dipicu pandemi Covid-19. Bukan cuma daging babi, harga daging lain di AS juga mengalami kenaikan yang sama.
Data terbaru Biro Statistik Tenaga Kerja memaparkan harga daging sapi dan daging sapi muda meningkat 20,1% antara Oktober 2020 dan Oktober 2021. Harga daging ayam juga naik 8,8%, ikan segar. Belum lagi makanan laut yang naik 11% dan telur yang naik 11,6%.
"Daging adalah bahan utama kami,' kata seorang pengusaha BBQ di South Carolina, Rodney Scott, dikutip dari CNN International, Jumat (19/11/202). "Semua harga protein mengalami kenaikan dan ini mempengaruhi bisnis."
Dilansir dari dari CNBC International, ada banyak faktor penyebab kenaikan harga daging sapi. Salah satunya dapat ditelusuri kembali ke tahun 2020, ketika Covid-19 menutup pabrik produksi dan melumpuhkan kemampuan produksi daging nasional.
Perlambatan tersebut membuat para petani tidak punya tempat untuk mengirim daging sapi mereka. Ini mengakibatkan mereka memusnahkan sapi dan ternak lainnya.
Dengan ketidakpastian tentang masa depan, para petani mengurangi produksi mereka pada saat itu. Pengurangan ini dapat mempengaruhi produksi lebih dari satu tahun hingga setengah tahun ke depan.
Pada saat yang sama, fasilitas pemrosesan sedang mengatasi kekurangan tenaga kerja yang mengurangi kapasitas mereka untuk memproses daging pada waktu yang sama seperti sebelum pandemi. Penurunan produksi ini terjadi karena kembali naiknya permintaan daging sapi dari konsumen dan restoran, sehingga memaksa harga menjadi lebih tinggi.
Gedung Putih sendiri merilis pengakuan singkat bahwa Presiden AS Joe Biden memahami bahwa keluarga AS telah menghadapi harga yang lebih tinggi di toko kelontong. Meskipun laporan tersebut mengakui masalah penawaran dan permintaan sebagai faktor yang menyebabkan harga naik, namun empat konglomerat besar AS yang menguasai 82% produksi daging sapi nasional dibandingkan dengan 25% pada tahun 1977, juga disalahkan.
Kurangnya persaingan telah mengakibatkan harga melonjak setinggi langit dan juga mencatat keuntungan bagi mereka sendiri. Pemerintah Biden telah berjanji untuk menegakkan undang-undang anti monopoli untuk memerangi praktek anti-persaingan di industri daging.
"Rekor keuntungan dan pembayaran dividen ini datang pada saat konsumen membayar lebih untuk meletakkan makanan di atas meja, pekerja mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan mereka untuk memberi makan Amerika," kata laporan itu.
"Petani dan peternak juga menghadapi kekeringan yang belum pernah terjadi sebelumnya, peristiwa kebakaran hutan dan cuaca ekstrim lainnya yang membahayakan ternak dan peternakan mereka."
Melonjaknya daging membuat sejumlah analis mengkhawatirkan kelompok miskin. Mereka diyakini tak akan bisa mengakses protein.
Sementara itu, di tingkat pemerintah pusat, Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen memperkirakan negara tersebut bakal kesulitan membayar utangnya setelah 15 Desember 2021. Dalam surat terbarunya ke DPR AS yang dikuasai partai pendukung Joe Biden, Demokrat, ia mendesak tindakan cepat kembali diambil untuk menaikkan batas pinjaman pemerintah federal.
Dalam suratnya Yellen mengatakan sumber daya yang tersedia tidak mencukupi untuk membiayai operasi pemerintah AS di luar tanggal tersebut. Ia mendesak kongres menaikkan atau menangguhkan aturan yang membatasi utang pemerintah sesegera mungkin.
"Ada skenario di mana Departemen Keuangan akan dibiarkan dengan sumber daya yang tersisa tidak mencukupi untuk terus membiayai operasi pemerintah AS di luar tanggal ini," tulisnya ke Ketua DPR Nancy Pelosi, dikutip dari The New York Times.
"Untuk memastikan kepercayaan penuh dan kredit dari Amerika Serikat, sangat penting bahwa Kongres menaikkan atau menangguhkan batas utang sesegera mungkin."
Ia pun kembali menekankan, jika anggota parlemen gagal melakukannya sebelum tanggal yang disebut, pemerintah AS akan default untuk pertama kalinya. Yellen memperkirakan default akan menyebabkan resesi dan membahayakan peran dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia.
Yellen menjelaskan lagi bahwa "ramalan berbahaya" ini merupakan hasil dari pengesahan rencana infrastruktur senilai US$1 triliun (setara Rp 14.230 triliun, asumsi Rp 14.200/US$) Biden awal pekan ini. Kemarin Biden menandatangani UU Investasi Infrastruktur dan Pekerjaan, yang mengalokasikan US$ 118 miliar untuk Dana Perwalian Jalan Raya.
"Dana ini harus ditransfer ke Dana Perwalian Jalan Raya dalam waktu satu bulan setelah berlakunya undang-undang, dan transfer akan selesai pada 15 Desember," tulis lagi dikutip dari CNBC International.
Sementara itu DPR AS diperkirakan juga akan memberikan suara pada jaring pengaman sosial dan rencana iklim Biden senilai hampir US$ 1,8 triliun minggu ini, sebelum Kongres melakukan reses Thanksgiving. Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer mengatakan bahwa ia bertujuan untuk meloloskan rancangan tindakan yang dikenal sebagai Build Back Better Act, sebelum Natal.
(tps/sef)