Sederet Curhat Bos Buruh soal Upah Minimum 2022, Naik Berapa?

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
11 November 2021 09:10
Ratusan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi demonstrasi di patung Kuda, Jakarta, Rabu, (10/11/2021). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ratusan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi demonstrasi di patung Kuda, Jakarta, Rabu, (10/11/2021). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan serikat pekerja awalnya ingin mendesak agar ada kenaikan upah minum provinsi (UMP) tahun 2022 sampai dengan 20%. Namun, mereka merevisinya dengan hanya mendesak kenaikan sebesar 7%-10% dari upah saat ini.

Bila ada kenaikan sampai 20%, serikat pekerja menilai kenaikan signifikan ini akan membuat pelaku usaha 'jantungan' di tengah pandemi yang belum berakhir.

"[Desakab] 20%-an awalnya, tapi kami ringkas jadi 7-10% karena kita nggak dapat stimulus seperti pengusaha," kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Mirah Sumirat kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (11/11/21).

Adapun UMP Jakarta saat ini sebesar Rp 4.416.186,548, jika ada kenaikan 20% maka UMP Jakarta menjadi Rp 5,3 juta. Nilai tersebut dianggap baru cukup untuk memenuhi kebutuhan buruh. Pasalnya, stimulus kepada buruh saat ini terasa kian kurang.

Ia membandingkan stimulus dari pemerintah yang terasa berbeda antara untuk pengusaha maupun pekerja. Misalnya pengusaha insentif PPh orang dan badan, relaksasi kredit dan lainnya. Sementara itu bagi pekerja, bantuan sosial serta bantuan subsidi upah (BSU) relatif sedikit.

"Apalagi 2021 ini nggak naik gaji, banyak pekerja yang dirumahkan tanpa dibayar dengan alasan Covid, WFH [work from home] nggak dibayar gara-gara Covid. Buruh kebutuhan biaya hidup nambah karena online, tapi sekolah SPP bayar terus. Selain itu pengeluaran banyak, pekerja bayar sendiri PCR dan segala macamnya," kata Mirah.

Berbagai kebutuhan itu menjadi alasan kalangan buruh meminta adanya kenaikan UMP 2022 setidaknya sebesar 7-10%.

Angka itu bukan hasil yang asal, karena buruh sudah melakukan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di 24 provinsi, dengan menggunakan 60 komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

"Kami juga mengadakan survei di pasar tradisional dan modern, dan kita pertimbangkan kondisi riil masyarakat, pengeluaran seperti apa, kebutuhan dan biaya yang ditanggung pandemi. Dan memperhitungkan juga 2021 nggak naik upah, jadi itu sudah kompromi sedemikian rupa yang jadi pertimbangkan 7%-10%. Di sektor rill nggak ngangkat juga tapi kami mempertimbangkan dan memahami situasi Covid," ujarnya.

Harapan muncul ketika penetapan UMP berada di tangan gubernur. Berkaca pada tahun lalu, beberapa gubernur memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah pusat terkait kebijakan upah minimum provinsi (UMP).

Ketika pemerintah pusat mengeluarkan surat edaran tidak ada kenaikan UMP, beberapa gubernur memilih untuk menaikkan UMP 2021.

Namun, saat ini kondisinya berbeda. Dia mengatakan kalangan buruh waswas kondisi di atas bakal sulit kembali terjadi di tahun ini atau UMP 2022.

Pasalnya, saat ini pemerintah pusat memiliki wewenang lebih, utamanya setelah UU Cipta Kerja dan turunannya, dalam hal ini PP nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan berjalan.

"Kalau dulu masih mending, kita masih bisa menyampaikan bisa berubah, waktu itu UU Ciptaker belum terlalu masuk ke PP perannya. Kalau sekarang sudah masuk," ujarnya.

Akibat perubahan itu, ketika tahun lalu kepala daerah atau gubernur masih mendapat 'bisikan' dari berbagai pihak akan kenaikan UMP, maka tahun ini lebih sulit.

Apalagi, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mulai turun tangan agar gubernur patuh pada pemerintah pusat.

Namun, buruh tetap tak ingin tinggal diam, yakni tetap bakal menyuarakan agar adanya kenaikan upah sebesar 7%-10% pada UMP 2022. Nilai tersebut baru dirasa cukup memenuhi kebutuhan buruh yang terkena efek dahsyat pandemi Covid-19. Sebelumnya ia memang mengakui ada desakan kenaikan UMP 2022 mencapai 20%, tapi direvisi.

"Kita terus lakukan aksi-aksi untuk bersuara dan gerakan sesuai konstitusi. Paling aksi-aksi jalanan aja, hari ini serentak di seluruh Provinsi, Kota, Kabupaten, kawan-kawan pekerja buruh aksi di kantor gubernur masing-masing. Kalau Jakarta saya lagi (kemarin) di kantor Gubernur Anies [Anies Baswedan]," sebutnya.

Dia menegasan, buruh makin terhimpit karena pemerintah telah mengesahkan aturan upah dengan tarif per jam melalui UU Cipta Kerja. Aturan itu ada pada turunannya, yakni PP nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan tertanggal 2 Februari 2021.

Namun, kalangan buruh mengungkapkan bahwa praktik upah per jam sudah terjadi sebelum pemerintah menelurkan PP tersebut.

"Apalagi sekarang makin banyak. Kenapa mau? Mereka dalam kondisi yang tidak ada pilihan, lulus sekolah butuh pekerjaan," kata Mirah.

Para angkatan kerja kian kesulitan dalam menemukan pekerjaan selama pandemi. Badan Pusat Statistik melaporkan pengangguran di Indonesia mencapai 9,1 juta orang.

Angka tersebut memang lebih kecil dibanding Agustus 2020 lalu di angka 9,77 juta orang. Namun tetap jauh lebih besar dibanding Agustus 2019 atau sebelum pandemi yang hanya berjumlah 7,06 juta orang.

Kondisi sulit itu membuat calon pekerja untuk menerima berbagai penawaran yang ada, termasuk dalam hal upah per jam. Mereka tersebar di berbagai sektor.

"Ada di sektor jasa, perdagangan kaya restoran, kemudian yang kawan-kawan konstruksi juga masuk," sebut Mirah.

Pekerja dari berbagai sektor itu bakal merasakan kelemahan dari sistem ini, misalnya tidak ada jaminan sosial hingga insentif lembur. Ketika daya tahan tubuh pekerja rontok, maka Ia sendiri yang bakal merasakan tanggungannya. Di sisi lain, upahnya juga tergolong tidak besar.

"Saya pernah ikuti di Pembahasannya di Jabar, saat itu di Bandung, saya lihat Jabar Rp 14 ribu/jam, kemudian DKI Jakarta Rp 17 ribu. Yang jadi persoalannya jaminan sosial nggak ada," kata Mirah.


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jika Tuntutan Buruh Gol, Inilah Angka UMP Se-Indonesia Raya

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular