
Pensiunkan PLTU, RI Butuh Dana Segar Rp 435 Triliun

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia siap 'mempensiunkan' secara dini atau segera memberhentikan pembangkit listrik dengan sumber energi batu bara. Atas rencana tersebut, Indonesia membutuhkan pendanaan sebesar US$ 25 miliar hingga US$ 30 miliar atasu Rp 435 triliun (kurs Rp 14.500) selama 8 tahun ke depan.
Demikianlah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui akun resmi instagramnya usai mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri CEO Forum di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).
"Indonesia akan membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari pembangkit batubara yang kemudian bertransisi ke energi terbarukan. Indonesia telah mengidentifikasi terdapat 5,5 GW PLTU Batubara yang bisa masuk dalam proyek ini dengan kebutuhan pendanaan sebesar USD25-30 miliar selama delapan tahun ke depan," jelasnya.
Indonesia sangat ambisius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional, pada 2030.
Pemerintah mengambil langkah serius dalam penanggulangan perubahan iklim, dengan mengesahkan Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK)
Pemerintah mengungkapkan Perpres NEK tersebut sebagai tonggak penting dalam mencapai komitmen Indonesia pada target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dan Net Zero Emission pada 2060.
Pilihan Redaksi |
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin menambahkan, Indonesia juga telah menyiapkan berbagai mekanisme untuk mendorong investasi energi baru terbarukan dan mengurangi emisi karbon dioksida kendaraan bermotor.
Hal tersebut diterjemahkan ke dalam kebijakan seperti insentif pajak untuk energi baru dan terbarukan, pengembangan teknologi bersih, penandaan anggaran, dan Mekanisme Transisi Energi (ETM). Bahkan, OJK juga telah mewajibkan pelaku di industri jasa keuangan untuk menyusun laporan yang berisi tentang penerapan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam rencana bisnis serta kewajiban penyampaian laporan kepada publik mengenai penerapan prinsip Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola tersebut.
Selain itu, Masyita mengatakan dari sisi sektor keuangan, OJK telah menyusun Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan. Kategori usaha ini akan menjadi acuan untuk pengelompokan sektor usaha hijau pada industri keuangan. Pengkategorian ini diharapkan meningkatkan portofolio layanan dalam pengembangan keuangan berkelanjutan.
Berbagai langkah telah dilakukan Indonesia mencapai semua target yang telah ditetapkan, serta menjadi negara destinasi investasi hijau akan menghadapi tantangan. Terutama apabila tidak ada peran aktif dari negara-negara maju untuk mewujudkan komitmen mereka, terutama yang telah tertuang dalam Paris Agreement. Mengingat masih banyaknya komitmen negara-negara anggota masih belum dijalankan.
Salah satunya adalah Long-Term Financing (LTF) yang seharusnya berakhir 2020 malah berjalan tanpa ada pencapaian terukur hingga saat ini. Untuk itu, di ajang COP26 ada beberapa isu yang menjadi prioritas Indonesia. Diantaranya adalah terkait dengan mekanisme Long-Term Financing (LTF) yang akan mendorong negara-negara maju untuk memenuhi janji mereka untuk memobilisasi setidaknya USD 100 miliar dalam pendanaan iklim per tahun bahkan lebih untuk mencapai NDC dan juga Net Zero.
"Untuk itu, mengambil pelajaran dari komitmen yang belum terpenuhi untuk memobilisasi USD 100 miliar per tahun dari negara-negara maju, Indonesia memandang COP26 harus menetapkan timeline, indikator,milestone, dan bentuk pembiayaan yang jelas. Termasuk evaluasi pemenuhan New Collective Quantified Goal (NCQG)," papar Masyita.
Menurut Masyta, langkah tersebut sebagai inisiatif baru untuk memobilisasi pembiayaan global, dan komitmen pendanaan lebih dari USD 100 miliar untuk mendukung pencapaian tujuan iklim yang lebih ambisius. Selain isu Long Term Finance, ada beberapa isu lainnya yang terkait dengan pendanaan perubahan iklim yaitu terkait dengan diskusi Article 6 yang menetapkan aturan untuk memperkuat integritas pasar karbon dan menciptakan mekanisme carbon offset global yang baru. Lainnya adalah isu mengenai pembiayaan adaptasi (Adaptation fund) yang sangat rendah dibanding dengan dana mitigasi. Data dari OECD bahkan menunjukan biaya yang telah dikeluarkan dari negara maju untuk adaptasi perubahan iklim tidak mencapai setengah dari dana yang telah dikeluarkan untuk mitigasi perubahan iklim.
"Indonesia tentu mendukung pembahasan dari kedua isu tersebut dan mendorong pembentukan mekanisme yang didasarkan oleh 'common but differentiated responsibility'. Artinya semua negara memiliki tujuan yang sama tapi memiliki tanggung jawab yang berbeda," tegasnya.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hot News: RI Setop PLTU Batu Bara & Perang Dunia 3 Dimulai?