Komponen Banyak Diimpor, RI Jangan Buru-Buru Gencarkan PLTS
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah punya target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 mendatang. Pemanfaatan energi surya melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi salah satu upaya pemerintah mencapai target bauran energi terbarukan tersebut.
Tapi sayangnya, RI belum punya pabrikan yang memadai untuk memproduksi solar panel. Saat ini mayoritas solar panel di dunia adalah buatan China, mencapai sekitar 70%-80%.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov berpandangan, syarat fundamental di dalam mendorong akselerasi pemanfaatan PLTS yaitu penguasaan industri dalam negeri dari sisi hulu.
"Sebab saat ini faktanya industri komponen PLTS domestik khususnya modul surya masih di fase assembly penghasil modul surya, jadi tidak murni produksi dalam negeri," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (02/11/2021).
Menurutnya, pemerintah perlu mendorong perusahaan domestik, baik swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk masuk ke dalam industri sel surya sebagai bahan dasar pembuatan modul surya.
"Kita jangan terburu-buru untuk mempercepat penetrasi PLTS selama komponen impornya masih tinggi yang justru akan menjadi jebakan dalam jangka panjang," tegasnya.
Dia menjelaskan, jika sebagian besar komponennya masih diimpor, maka energi listrik Indonesia menjadi tidak mandiri dan akan terus ditopang dari ketergantungan impor komponen PLTS.
"Pengembangan PLTS juga akan berimplikasi terhadap beban PLN dalam menyiapkan grid (jaringan) untuk menerima pembangkit intermittent, artinya ada potensi tambahan capex yang harus dialokasikan PLN," lanjutnya.
Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengungkapkan pada 2001 China telah menerapkan bauran energi (energy mix), di mana 50% menggunakan energi fosil dan 50% dari EBT.
Kemudian pada 2019, pembangkit batu bara justru meningkat, mendekati 86%. Artinya, di saat itu China menekankan pertumbuhan ekonomi, tapi tidak menekankan pada keberlanjutan lingkungan karena hanya memikirkan energi murah.
Namun, kata Darmawan, di saat bersamaan China membangun kekuatan yang didominasi dengan produk-produk EBT, dan saat ini hampir 70% hingga 80% solar panel di dunia adalah buatan China.
"Artinya, China pun thrifting perubahan iklim dengan akselerasi pertumbuhan ekonomi, tapi di satu sisi berkesempatan membangun kapasitas nasionalnya. Ketika itu tercapai, China membangun lagi kekuatan EBT, bukan hanya domestik, tapi juga internasional," jelas Darmawan.
Pemerintah juga bakal merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).
Salah satu poin yang direvisi di dalam Peraturan Menteri ESDM ini adalah ketentuan ekspor listrik ke PT PLN (Persero), dari mulanya dibatasi 65%, direvisi menjadi 100%.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto pun angkat bicara mengenai rencana ini. Dia menyebut revisi aturan PLTS Atap berpotensi menimbulkan ketidakadilan karena mayoritas yang menikmati adalah orang kaya.
"Karena yang akan menikmati sebanyak 99% adalah sektor industri, bisnis dan perumahan mewah di kota besar. Karena rumah orang miskin tidak menggunakan PLTS," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (23/09/2021).
Dia menceritakan, saat ini sudah mulai banyak ditemukan pengembang perumahan mewah menjadikan fasilitas PLTS Atap sebagai bahan jualannya.
"Para pengembang mengimingi-imingi calon pelanggannya akan dapat keringanan dari pemerintah karena menggunakan PLTS Atap," lanjutnya.
(wia)