
Menteri ESDM Akui RI Butuh Dana buat Capai Netral Karbon 2060

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah negara kini tengah melakukan Konferensi Perubahan Iklim yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Glasgow, Skotlandia sejak Minggu, 31 Oktober hingga 12 November 2021 mendatang.
Konferensi ini dikenal dengan Conference of the Parties (COP). Tahun ini merupakan penyelenggaraan konferensi ke-26, sehingga dinamakan COP26. Adapun tujuan dari konferensi ini yaitu mempercepat upaya pencapaian Paris Agreement dan kerangka PBB dalam upaya menekan dampak perubahan iklim dari emisi karbon.
COP26 ini merupakan usaha dunia untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan pada 2030 dan mencapai net zero emission pada 2050 dan menjaga peningkatan suhu pada level 1,5 derajat Celsius, serta bagaimana membantu pendanaan untuk menciptakan target pengurangan emisi karbon dunia ini.
Lantas, bagaimana dengan kontribusi Indonesia?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan komitmen kuat Indonesia untuk turut andil dalam menanggulangi perubahan iklim. Komitmen ini tengah diperkuat dengan perumusan sejumlah kebijakan, khususnya di sektor energi.
Upaya ini tengah ditempuh Indonesia demi mencapai target penurunan emisi maupun net zero emission (netralitas karbon) yang ditargetkan akan tercapai pada 2060 atau lebih awal.
Arifin mengatakan, persoalan lingkungan dan ketegasan menjalankan misi tersebut membutuhkan daya dukung transisi energi, sehingga membuka ruang pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang optimal. Dia pun mengungkapkan sejumlah tantangan yang dibutuhkan RI dalam mencapai netral karbon ini, antara lain infrastruktur, teknologi, hingga masalah dana.
"Transisi energi menuju net zero emission membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Melalui peningkatan infrastruktur seperti interkoneksi jaringan, kita (Indonesia) berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT," jelas Arifin saat menyampaikan pandangannya pada Ministrial Talks, dalam rangkaian agenda Conference of Parties (COP) ke-26 di Paviliun Indonesia, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).
Indonesia, sambung Arifin, berencana mulai mengembangkan Super Grid pada 2025 untuk mengatasi kesenjangan antara sumber EBT dan lokasi di daerah yang memiliki permintaan listrik yang tinggi.
"Sebagai negara kepulauan, kita perlu menyediakan akses listrik ke seluruh masyarakat lokal setempat," katanya.
Sementara penerapan teknologi tepat guna juga diperlukan tidak hanya untuk menjaga dan meningkatkan keandalan dan efisiensi pasokan, tetapi juga untuk mengintegrasikan sumber EBT dan mengantisipasi sifat intermittent EBT, seperti matahari dan angin.
"Teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan EBT termasuk jaringan pintar (smart grid), smart meter dan sistem penyimpanan energi termasuk pumped storage dan Battery Energy Storage System (BESS)," tuturnya.
Terkait pembiayaan, Arifin menegaskan peran sektor swasta sebagai penopang finansial selain pemerintah dan lembaga keuangan sebagai aspek penting dalam meningkatkan dan mempercepat implementasi energi rendah karbon.
"Diperlukan kebijakan dan regulasi yang tepat untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kami berusaha untuk mencapainya dengan menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan," paparnya.
Salah satunya melalui pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara 2021-2030 di mana porsi sumber energi berbasis EBT melebihi porsi energi fosil, yaitu sebesar 51,6% atau setara dengan 20,9 Giga Watt (GW).
"Kami mengakui bahwa kerangka peraturan sangat penting untuk mempercepat penyebaran energi terbarukan dan memastikan keberhasilan transisi energi kami," ungkap Arifin.
Arifin menegaskan, penambahan kapasitas pembangkit listrik hanya akan berasal dari EBT mulai tahun 2035.
"Pemanfaatan panas bumi dimaksimalkan hingga 75% dari potensi, pembangkit hidro dioptimalkan ke pusat beban di pulau-pulau kecil dalam menyeimbangkan pembangkit listrik VRE," jelasnya.
Kementerian ESDM sendiri terus menjalin kerja sama secara aktif dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta kementerian negara dan lembaga lainnya dalam memenuhi target penurunan emisi.
"Namun, kami menyambut baik dukungan dari sektor swasta, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk membantu kami memenuhi target ini lebih cepat," tegas Arifin.
