Internasional

Fakta Ramai-ramai Bugil di Israel karena Ancaman Selain Covid

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
Selasa, 19/10/2021 10:25 WIB
Foto: Peserta berpose telanjang untuk fotografer seni, Spencer Tunick, di Israel di samping Laut Mati. (REUTERS/AMIR COHEN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perubahan iklim (climate change) menjadi ancaman nyata pada dunia selain pandemi Covid-19. Fenomena ini tidak hanya berimbas pada lingkungan hidup, tetapi juga pada perekonomian.

Terkait hal ini, muncul pemandangan unik di Israel. Ratusan orang telanjang dan hanya mengenakan cat tubuh putih berjalan melintasi hamparan gurun di dekat Laut Mati, Minggu (17/10/2021).


Ini merupakan bagian dari proyek fotografi terbaru seniman asal Amerika Serikat (AS), Spencer Tunick (54). Pemotretan ini dilakukan untuk menyoroti fenomena perubahan iklim yang terjadi di dunia.

Dilansir dari South China Morning Post (SCMP), Tunick mengunjungi Israel sebagai tamu kementerian pariwisata. Dia menggarap proyek untuk menggambarkan Laut Mati yang terus menyusut melalui subjek telanjang.

Ide ini muncul setelah tepi Laut Mati surut sekitar satu meter setahun terakhir. Bahkan lokasi pemotretannya di dekat Laut Mati lima tahun lalu menjadi surut dan hanya meninggalkan pasir berkerak, sehingga memperlihatkan lubang pembuangan yang menganga.

Israel dan Yordania telah mengalihkan sebagian besar air hulu untuk pertanian dan air minum. Sementara ekstraksi mineral dan penguapan yang dipercepat oleh perubahan iklim yang memperburuk masalah di sana.

Perubahan iklim sejatinya adalah masalah bumi saat ini selain Covid-19. Para ilmuwan pun telah meneliti bagaimana emisi karbon mempengaruhi dunia pada 2021.

Bukan hanya di Timur Tengah, perubahan iklim juga kini menghantui Eropa, AS dan Asia. Di mana badai dan hujan yang lebih parah dari biasanya dan memakan korban nyawa muncul karena persoalan lingkungan.

Dalam penelitian terbaru dari AS, jika tidak ada perubahan, maka 95% permukaan laut Bumi menjadi tak layak huni pada 2100. Meningkatnya tingkat CO2 (karbon dioksida) di atmosfer, setidaknya dalam tiga juta tahun, menimbulkan kekhawatiran suhu permukaan laut mungkin menjadi kurang bersahabat dengan spesies yang hidup di sana, seperti dikutip dari Nature World News.

Laut yang lebih panas, lebih asam, dan memiliki lebih sedikit mineral yang dibutuhkan bagi kehidupan laut untuk berkembang menjadikan laut tidak layanan huni bagi makhluk laut. Menurut penulis utama dari penelitian ini Katie Lotterhos dari Pusat Ilmu Kelautan Universitas Northeastern, perubahan komposisi lautan sebagai akibat dari polusi karbon kemungkinan akan mempengaruhi semua spesies permukaan.

Sementara analisis terbaru McKinsey, potensi kerugian akibat krisis iklim bisa mencapai US$ 4,7 triliun atau sekitar Rp 66.188 triliun (asumsi Rp 14.000/US$). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI memperkirakan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024.

Sektor keuangan saat ini telah mendeteksi peningkatan risiko terhadap banjir besar, topan, dan kemarau. Di tingkat global, investasi Environmental, Social and Corporate Governance (ESG) telah mengalami gelombang pertumbuhan di balik pandemi dan memiliki fokus baru pada keberlanjutan.

Di Asia Tenggara, model bisnis yang mengutamakan keberlanjutan, penilaian risiko iklim, dan investasi ESG masih terbilang baru. Namun dampak dari perubahan iklim sudah terasa.


(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Israel Akui Operasi Diam-Diam di Dalam Iran