Sisa Waktu Tak Banyak, Ancaman Ngeri Selain Covid Makin Dekat

Dob & Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
Selasa, 12/10/2021 07:50 WIB

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah penelitian terbaru di Amerika Serikat (AS) menyatakan maka 95% permukaan laut bumi menjadi tak layak huni pada 2100. Hal ini menambah panjang ancaman perubahan iklim, bila tidak ada perubahan yang berarti.

Katie Lotterhos, peneliti dari Pusat Ilmu Kelautan Universitas Northeastern, menyatakan sebagian besar kehidupan laut didukung oleh lingkungan permukaan laut yang memiliki suhu air permukaan, tingkat keasaman, dan konsentrasi mineral arogonit yang sesuai guna pembentukan tulang atau cangkang.

Namun dengan meningkatnya tingkat CO2 (karbon dioksida) di atmosfer, setidaknya dalam tiga juta tahun, ada kekhawatiran suhu permukaan laut mungkin menjadi kurang bersahabat dengan spesies yang hidup di sana.


Dia menambahkan bahwa laut yang lebih panas, lebih asam, dan memiliki lebih sedikit mineral membuat laut menjadi tidak layanan huni bagi makhluk yang hidup disana.

"Dalam beberapa dekade mendatang, komunitas spesies yang ditemukan di satu wilayah akan terus bergerak dan berubah dengan cepat," ujarnya seperti dikutip dari Nature News, Selasa (12/10/2021).

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat jumlah bencana, seperti banjir dan gelombang panas (heatwave), akibat perubahan iklim meningkat lima kali lipat selama 50 tahun terakhir. Tidak hanya itu, deretan bencana ini juga menewaskan lebih dari 2 juta orang dan menelan kerugian total US$ 3,64 triliun atau sekitar Rp 51.981 triliun (asumsi Rp 14.200/US$).

Dalam laporan terbarunya, organisasi di bawah naungan PBB itu mengatakan mereka melakukan tinjauan paling komprehensif tentang kematian dan kerugian ekonomi akibat cuaca, air, dan iklim ekstrem yang pernah dihasilkan. Ini mensurvei sekitar 11.000 bencana yang terjadi antara 1979-2019, termasuk bencana besar seperti kekeringan 1983 di Ethiopia, peristiwa paling fatal dengan 300.000 kematian, dan Badai Katrina di Amerika Serikat (AS) pada 2005 yang membuat kerugian US$ 163,61 miliar.

"Kerugian ekonomi meningkat seiring meningkatnya eksposur," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.

Sementara bahaya bencana menjadi lebih mahal dan sering terjadi, jumlah kematian tahunan turun dari lebih dari 50.000 pada tahun 1970-an menjadi sekitar 18.000 pada tahun 2010. Ini menunjukkan bahwa perencanaan yang lebih baik telah membuahkan hasil.

"Sistem peringatan dini multi-bahaya yang ditingkatkan telah menyebabkan penurunan angka kematian yang signifikan," tambah Taalas.

Namun lebih dari 91% dari 2 juta kematian terjadi di negara berkembang. Ini mencatat bahwa hanya setengah dari 193 anggota WMO yang memiliki sistem peringatan dini multi-bahaya. Taalas juga mengatakan bahwa "kesenjangan yang parah" dalam pengamatan cuaca, terutama di Afrika, merusak keakuratan sistem peringatan dini.

WMO berharap laporan tersebut akan digunakan untuk membantu pemerintah mengembangkan kebijakan untuk melindungi masyarakat dengan lebih baik.

Halaman 2>>


(dob/dob)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Dunia Bergejolak, Komitmen Hadapi Perubahan Iklim Terpangkas

Pages