China Krisis Listrik Berimbas ke Ekspor Nikel Antam?
Jakarta, CNBC Indonesia - China sejak beberapa waktu lalu tengah mengalami krisis pasokan energi, terutama listrik, baik untuk industri maupun rumah tangga. Imbasnya, banyak pabrik manufaktur dihentikan produksinya.
Lantas, apakah kondisi ini berdampak pada ekspor feronikel dari Indonesia, khususnya dari PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)?
SVP Corporate Secretary Antam Yulan Kustiyan mengatakan, sejauh ini operasi produksi serta penjualan feronikel Antam masih berjalan normal. Dia mengatakan, Antam masih berusaha mencapai target produksi dan penjualan feronikel pada tahun ini sebesar 26 ribu ton.
"Dapat disampaikan bahwa saat ini operasi produksi dan penjualan feronikel Antam berjalan secara normal sejalan dengan upaya Perusahaan untuk mencapai target produksi dan penjualan feNi tahun 2021 sebesar 26 ribu ton nikel," tuturnya, seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa (05/10/2021).
Dia mengatakan, kondisi krisis di China tidak akan berimbas pada penjualan feronikel perusahaan karena negara tujuan ekspor feronikel Antam beragam tidak hanya China, tapi ada juga India, Korea Selatan, dan Taiwan.
"Antam memiliki basis pelanggan ekspor feronikel yang terdiversifikasi, selain ke pasar Tiongkok, produk feNi Antam juga dipasarkan kepada pelanggan di India, Korea Selatan, dan Taiwan," paparnya.
Seperti diketahui, China tengah dihantam krisis listrik, karena kekurangan pasokan batu bara dikombinasikan dengan permintaan daya yang kuat dari industri dan rumah tangga. Kondisi ini pula yang mendorong harga batu bara terus mencetak rekor tertinggi, dan memicu pembatasan penggunaan listrik yang meluas.
Mengutip Reuters, Kamis (30/09/2021), pengamat perubahan iklim bersikeras mengatakan bahwa isu lingkungan yang lebih ketat di Beijing tidak bisa disalahkan atas krisis energi saat ini. Memang, China telah berfokus pada pengurangan konsumsi daya, bukan pada produksi batu bara.
Sebaliknya, sistem penetapan harga listrik China yang sangat dikontrol pemerintah mencegah produsen listrik membebankan lonjakan harga batu bara kepada konsumen, sehingga membuat mereka tidak punya pilihan selain menderita kerugian atau mengurangi output.
Krisis listrik di China saat ini terjadi meskipun ada upaya Beijing untuk mengekang penggunaan listrik industri berat.
Otoritas provinsi di Mongolia dan Guangdong telah memerintahkan industri, termasuk industri peleburan aluminium yang intensif energi, untuk mengurangi penggunaan listrik.
Namun, terungkap bahwa 10 provinsi dan wilayah, termasuk produsen batu bara utama seperti Mongolia, masih gagal memenuhi target efisiensi energi pada paruh pertama tahun ini, sebagian besar sebagai akibat dari pemulihan pasca-lockdown yang menurut para analis mengandalkan industri berat yang mengonsumsi energi dalam jumlah besar.
Penjatahan listrik saat ini sedang berlangsung di setidaknya sembilan provinsi dan wilayah. Pemerintah daerah di pusat industri utama seperti provinsi Zhejiang, Jiangsu, dan Guangdong telah meminta pabrik untuk membatasi penggunaan daya atau membatasi produksi mereka.
Beberapa perusahaan penyedia listrik telah mengirimkan pemberitahuan kepada industri penyerap energi besar untuk menghentikan produksi selama periode beban puncak yang dapat berlangsung dari pukul 7 pagi dan 11 malam, atau menutup operasi sepenuhnya selama dua hingga tiga hari dalam seminggu.
Yang lain juga telah diberitahu untuk tutup sampai pemberitahuan lebih lanjut atau tanggal tertentu, termasuk pabrik pengolahan kedelai di Tianjin di China Timur yang telah ditutup sejak 22 September.
Dampaknya pada industri sangat luas dan mencakup sektor-sektor padat energi seperti peleburan aluminium, pembuatan baja, manufaktur semen, dan produksi pupuk.
Setidaknya 15 perusahaan China yang terdaftar yang memproduksi berbagai bahan dan barang dari aluminium dan bahan kimia hingga pewarna dan furnitur telah melaporkan bahwa produksi mereka telah terganggu oleh pembatasan listrik.
(wia)