
Dilema Listrik Murah Tapi Gak Eco-friendly Vs EBT Tapi Mahal

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia terus menggencarkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), khususnya di sektor ketenagalistrikan. Namun demikian, pemanfaatan listrik yang bersumber Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dinilai masih tak terkalahkan karena lebih murah dibandingkan pembangkit berbasis EBT.
Wakil Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan, meski kini PLTU batu bara lebih murah, namun kekuatan EBT ada pada inovasi.
Pada 2015, lelang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) masih US$ 25 sen per kilo Watt hour (kWh). Lalu, terus turun sampai dengan US$ 5,8 sen per kWh untuk PLTS Cirata. Terakhir, berdasarkan market sounding, menurutnya sudah harga listrik PLTS telah turun menjadi US$ 3,6 sen per kWh. Namun, itu belum termasuk biaya baterainya.
Untuk tambahan biaya Energy Storage System (ESS) alias "power bank" raksasa, dari mulanya US$ 25-30 sen per kWh, saat ini sudah mendekati US$ 12 sen per kWh. Dan setiap tahun mengalami penurunan sekitar 25%.
Dengan demikian, bila digabungkan antara biaya pembangkit dan "power bank"-nya, maka biaya PLTS ini memang masih belasan sen dolar per kWh, jauh lebih mahal dibandingkan harga listrik dari PLTU yang masih di kisaran US$ 5 sen-6 sen per kWh.
"Bahwa ini ada dilema mau murah ya batu bara, tapi gak environmental friendly, kalau mau sustainable, environmental friendly pakai EBT mahal," ungkapnya dalam Energy Corner Road to Energy Day "Jurus RI Hadapi Tantangan Transisi Energi" CNBC Indonesia, Rabu (29/09/2021).
Di saat harga EBT bisa semakin bersaing dengan sendirinya, namun kalau semua listrik berbasis EBT ini dikenakan sistem feed-in tariff (FIT), maka menurutnya ini akan menjadi beban untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, APBN bisa jebol bila semua EBT harus dikenakan skema FIT ini.
"Apakah bisa kawinkan itu? Listrik murah tapi environmental friendly, ada dilema, tapi jadi satu solusi tentu saja. Kalau kita ingat tahun 2000-an itu telepon seperti apa, '95 laptop seperti apa, sekarang kecil sekali dan makin murah," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, ESS yang semakin maju ke depan akan menjadi kekuatan. Untuk saat ini, pemanfaatan PLTS menurutnya memang masih lebih mahal, meski ongkos produksinya sudah murah US$ 3,6 - 4 sen per kWh, dibandingkan PLTU US$ 5,5 - 6 sen per kWh. Pasalnya, PLTS butuh baterai yang ongkosnya US$ 12 sen. Artinya, pemanfaatan PLTS masih di kisaran US$ 16 sen per kWh, lebih mahal daripada PLTU.
"Bayangkan tiga tahun dari sekarang, PLTS US$ 3 sen dan baterainya US$ 3 sen, artinya hanya US$ 6 sen, dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) pun lebih murah. PLTGU kami LNG saat ini dan midstream sudah US$ 8-9 sen," jelasnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Baru Diresmikan, Intip Pabrik Hidrogen Hijau Milik PLN