Saat Inggris Kembali ke Batu Bara, RI Mau Tinggalkan PLTU

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
28 September 2021 10:25
PT Indonesia Power melalui Unit Pembangkitan (UP) Suralaya menegaskan jika Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ini tidak menyumbang polusi untuk Jakarta. (CNBC Indonesia/Nia)
Foto: PT Indonesia Power melalui Unit Pembangkitan (UP) Suralaya menegaskan jika Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) ini tidak menyumbang polusi untuk Jakarta. (CNBC Indonesia/Nia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inggris dan beberapa negara Eropa tengah mengalami krisis energi. Penyebabnya adalah pasokan energi baru terbarukan (EBT) yang melemah, terutama angin, ditambah dengan tersendatnya pasokan gas dan membubungnya harga minyak dan gas bumi.

Inggris biasanya memilih menggunakan gas bumi, selain energi baru terbarukan, sebagai sumber energi pembangkit listrik. Namun kini mereka harus menghadapi lonjakan harga gas yang telah mencapai 250% karena keterbatasan pasokan akibat penghentian fasilitas produksi di Amerika Serikat hingga isu manipulasi perusahaan gas Rusia Gazprom.

Sementara dari sisi permintaan gas mengalami peningkatan seiring dengan membaiknya perekonomian setelah dilakukan pelonggaran dan pembatasan sosial.

Akibat harga gas yang semakin mahal, membuat selisih ongkos produksi listrik antara gas dan batu bara semakin jauh. Sebagai perbandingan di Eropa, biaya pembangkitan listrik dengan gas alam adalah EUR 75,32/MWh pada 21 September 2021. Sementara bila menggunakan batu bara, biayanya hanya EUR 44,18/MWh.

Gas yang semakin mahal membuat negara-negara di Eropa kembali memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Padahal selama ini Eropa termasuk yang paling gencar dalam mendorong transisi energi bersih.

Secara umum, Eropa dan Inggris memang lebih condong ke gas daripada batu bara sebagai sumber energi untuk pembangkit listriknya. Hal ini dikarenakan emisi karbon yang lebih rendah.

Ini menjadi potret bahwa transisi dari fosil ke EBT tidak semudah yang dijalankan. Hal ini diakui perusahaan pembangkit listrik, Drax, Kamis (23/9/2021).

Ketergantungan pada gas alam yang harganya naik dua kali lipat sejak Mei, membuat otoritas mengambil jalan ini sebagai solusi listrik tetap menyala bagi warga.

"Fasilitas ini (PLTU) telah memenuhi peran penting dalam menjaga lampu warga agar tetap menyala saat sistem energi berada di bawah tekanan yang cukup besar," kata Drax dalam sebuah pernyataan ke AFP, Jumat (24/9/2021).

Di tengah Inggris yang tengah mengalami krisis energi ini, Indonesia berencana untuk meninggalkan PLTU batu bara dan mendorong pemakaian energi baru terbarukan. Dengan kondisi yang terjadi di Inggris, apakah Indonesia tetap yakin bisa meninggalkan batu bara sepenuhnya dan mengandalkan energi baru terbarukan?

Indonesia punya target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 mendatang. Selain itu, Indonesia juga punya target menghentikan operasional PLTU batu bara secara bertahap mulai 2025.

Menanggapi krisis energi yang terjadi di Inggris, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, jika krisis energi yang terjadi di Inggris benar, maka bisa dijadikan pelajaran bagi RI.

Menurutnya pelajaran tersebut adalah terkait menjaga keandalan sistem ketenagalistrikan. Di mana keandalan sistem ketenagalistrikan harus bisa direncanakan secara komprehensif, termasuk juga langkah-langkah mengantisipasinya atas segala kemungkinan yang terjadi.

"Kejadian di Inggris menjadi pelajaran (kalau memang itu betul), bahwa keandalan sistem ketenagalistrikan harus direncanakan secara komprehensif termasuk mengantisipasinya," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (27/09/2021).

Indonesia saat ini dia sebut sedang mempersiapkan transisi dari energi fosil ke EBT. Selain memperhatikan isu keandalan, menurutnya di dalam proses mengembangkan energi berbasis EBT juga harus memperhatikan isu keekonomian proyek.

"Itu yang sekarang sedang disiapkan oleh Indonesia, bagaimana mengembangkan energi bersih berbasis EBT," ujarnya.

Dia mengatakan, pemerintah juga mempertimbangkan bauran EBT dengan energi fosil. Pasalnya, beberapa jenis energi terbarukan sangat bergantung pada cuaca.

"Peningkatan interkoneksi, smart grid dan pemanfaatan teknologi lainnya termasuk energy storage menjadi aspek penting untuk menjamin suksesnya pengembangan EBT secara nasional," lanjutnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan, saat ini RI masih menggunakan batu bara sebesar 38% dari bauran energi Indonesia.

Ke depan, menurutnya penggunaan EBT akan terus ditingkatkan. Meski demikian, energi fosil juga belum akan ditinggalkan, namun dengan tetap bisa menekan angka emisi karbon melalui pemanfaatan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) pada PLTU berbasis batu bara.

"Saat ini Indonesia masih menggunakan coal sekitar 38% dari bauran energi kita, ke depan kita akan kita tingkatkan EBT, dan penggunaan energi fosil tetap kita gunakan dengan penerapan teknologi untuk mengurangi emisinya seperti pemanfaatan CCU dan CCUS," ungkapnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah berencana menghentikan operasional PLTU berbasis batu bara karena energi fosil merupakan musuh bersama dunia.

"Indonesia memiliki potensi besar di energi baru terbarukan. Sekarang ini fossil energy jadi musuh bersama (dunia). Bertahap, pemerintah juga mau pensiunkan power plant batu bara," ujarnya dalam acara 'Indonesia Investment Forum 2021' secara virtual, Kamis (27/5/2021).

Dia mengatakan, banyaknya negara meninggalkan proyek PLTU ini juga ditandai dengan banyaknya lembaga keuangan dunia atau perbankan yang tidak lagi mau mendanai pembangunan berbasis energi fosil.

"Kenapa itu terjadi? Karena pemanasan global sekarang membuat bumi makin panas. Jadi kalau naik saja sampai 1,5 derajat, itu akan punya dampak yang tidak bagus," jelasnya.

Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana pun menyebut, berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rapat Terbatas 11 Mei 2021, tidak diperkenankan adanya usulan pembangunan PLTU baru, kecuali yang sudah dalam tahan konstruksi atau minimal terikat pendanaan (financial close).

"Kalaupun ada proyek-proyek di RUPTL, itu berarti meneruskan yang sudah terlanjur ada, dan berstatus konstruksi dan minimal financial close," papar Rida.

Dia mengatakan, porsi pembangkit EBT pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 juga akan meningkat dibandingkan dengan RUPTL 2019-2028. Di dalam RUPTL 2019-2028 yang saat ini berlaku, porsi pembangkit EBT sebesar 30% dan pembangkit fosil 70%.

Porsi ini menurutnya akan diubah menjadi 48% pembangkit EBT dan 52% pembangkit fosil dalam RUPTL 2021-2030 yang tengah disusun.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inggris Balik Pakai Batu Bara, RI Yakin Mau Ngandelin EBT?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular