Jokowi 'tertantang' untuk membuka kasus skandal BLBI setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan SP3 atau memberhentikan penyidikan kasus ini pada awal April 2021.
Selang beberapa hari kemudian, Jokowi menerbitkan bleid Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 April 2021.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga merupakan pengarah Satgas BLBI mengatakan telah memanggil 22 obligor/debitur yang tersangkut kasus BLBI.
Dari pemanggilan 22 nama itu, pemerintah telah mencairkan dana dalam dua akun perbankan, masing-masing senilai Rp 664.974.593 dan US$ 7,63 juta atau setara Rp 109,58 miliar. Sehingga secara total dana yang sudah berhasil disita pemerintah sebesar Rp 110,24 miliar.
Seluruh pencairan aset ini pun sudah masuk ke kas negara. "Ini escrow account yang kita sita, dan mencairkan untuk kemudian masuk ke kas negara. Hasil sitaan ini sudah masuk ke kas negara semenjak kemarin sore," ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (21/9/2021).
Dana tersebut, kata Sri Mulyani berasal dari salah satu obligor BLBI Kaharudin Ongko. Kaharudin diketahui merupakan eks pemegang saham tertinggi Bank Umum Nasional (BUN).
Sri Mulyani bercerita pembayaran utang yang dilakukan Kaharudin tidak sesuai ekspektasi pemerintah, sehingga membuat pihaknya harus mengeluarkan surat paksa dan pencegahan yang bersangkutan bepergian ke luar negeri.
Selain itu, Satgas BLBI juga menahan sebagian jaminan kebendaan baik berupa aset tetap maupun aset bergerak yang diserahkan sesuai perjanjian yg ditandatangani lewat Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) pada 18 Desember 1998 silam.
Dalam pengumuman yang ditayangkan di media massa, Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban memanggil Kaharudin pada Selasa (7/9/2021).
Agenda pertemuan adalah menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI setidak-tidaknya Rp8,2 triliun. Rinciannya, Rp7.828.253.577.427,8 dalam rangka Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PPKS) Bank Umum Nasional dan Rp359.435.826.603,76 dalam rangka PKPS Bank Arya Panduarta.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD menjelaskan, pemerintah menagih utang BLBI yang lebih sedikit ke obligor atau debitur. Sehingga bunga utang yang diberikan kepada obligor/debitur BLBI lebih murah menyesuaikan kondisi ekonomi saat krisis moneter 1997-1998.
"Mereka diberi pinjaman oleh negara, utang kepada negara, negara mengeluarkan obligasi, berutang ke BI, kemudian diberikan kepada mereka. Mereka membayarnya jauh lebih murah karena disesuaikan situasi saat itu," jelas Mahfud.
"Ada obligor yang sebenarnya berutang Rp 58 triliun, tapi pemerintah hanya menagih 17% sampai 30% dari total utang tersebut," ujarnya lagi.
Oleh karena itu, ia meminta agar para obligor membayar utang mereka kepada negara. Apalagi, penagihan utang dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan adil.
"Menilai utang berapa kami bayari, hartamu berapa, kami hitung dalam bentuk pengakuan serahkan ke negara. Sekarang masa masih mau ngemplang?" ujarnya.
Disisi lain, ia menyebut keputusan pemerintah menagihkan utang BLBI sudah final dan sudah diputuskan Mahkamah Agung (MA). Dari segi politik, DPR pun sudah melaksanakan interpelasi sehingga pemerintah bisa dengan sah menagih piutang negara.
"Itu keputusan interpelasi September 2009 yang dibacakan oleh Aulia Rahman di DPR. Jadi udah selesai. Tinggal mereka ini mau bayar atau nggak?" imbuhnya.
Seperti diketahui, krisis moneter pada 1997-1998 diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Setelah adanya paket deregulasi deregulasi perbankan Oktober 1988 (Pakto 88), bank-bank baru bermunculan seiring kemudahan izin mendirikan bank. Saat itu orang bisa bikin bank hanya dengan modal Rp 1 miliar.
Kendati demikian booming perbankan tidak dibarengi dengan manajerial yang tepat. Akibatnya, saat kurs rupiah jeblok, utang valas perbankan membengkak. Di saat yang sama, debitur yang terpapar krisis kesulitan membayar kewajiban valasnya kepada perbankan.
Bank Indonesia dan Menteri Keuangan yang kala itu juga dijabat Sri Mulyani Indrawati kemudian menyepakati penyelesaian dengan BLBI, melalui berbagi beban (burden sharing).
BLBI adalah dana yang pernah digelontorkan Bank Indonesia (BI) bersama pemerintah sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank untuk berbagi beban pada masa krisis moneter 1997-1998.
Namun hingga saat ini, baru sebagian kecil bank yang telah mengembalikan dana tersebut. Pemerintah membeberkan dana BLBI yang harus dikembalikan obligor dan debitur mencapai Rp110,45 triliun.
Satgas BLBI diketahui telah menyita sedikitnya 49 bidang tanah dengan total luas mencapai 5,2 juta hektar hasil sitaan dari pada obligor dan debitur BLBI. Ke-49 lahan tersebut berada di empat kota.
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan jumlah itu merupakan sebagian dari total 15,2 juta hektar aset lahan BLBI yang harus dikembalikan. Dari luas tanah yang telah dikuasai, kata Mahfud, pemerintah kini dalam proses sertifikasi lahan agar menjadi atas nama negara.
"Sebagian ada bangunannya, 15,2 juta hektare. Yang 5,2 juta hektar, kemarin di empat kota sudah kita kuasai langsung kembali," ujarnya.
Lebih lanjut, kata Mahfud Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberi restu agar sitaan lahan aset BLBI dipergunakan untuk membangun lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Jokowi, kata Mahfud, telah mengizinkan agar lahan-lahan hasil sitaan aset BLBI digunakan untuk kepentingan negara.
"Presiden mengatakan, sudah gunakan saja untuk kepentingan negara. Untuk apa tidak dipakai. Nah itu bisa. Jadi itu masih jalan," ujar Mahfud lagi.
Saat ini, Mahfud masih berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM guna memastikan pembangunan Lapas, atau justru tempat-tempat rehabilitasi yang sedang dibutuhkan.
"Rencana itu kan tergantung Kemenkumham dan nanti dengan saya untuk merancang Lapas-Lapas apakah betul yang diperlukan Lapas, atau rumah rehabilitasi. Nanti kita akan hitung lagi," katanya.
CNBC Indonesia telah merangkum deretan nama yang sudah dipanggil oleh Satgas BLBI melalui media pengumuman di surat kabar media nasional. Berikut 16 rincian nama dan jumlah utang yang harus dibayar negara:
Pemanggil 7 September 2021
Kaharudin Ongko, jumlah hutang: Rp 8.187.689.404.030,94. Pemanggilan Ongko oleh Satgas BLBI untuk menyelesaikan PKPS Bank Umum Nasional dan PKPS Bank Arya Panduarta.
Pemanggilan 9 September 2021
1. Obligor/Debitur a.n. Kwan Benny Ahadi
- Kehadiran melalui video conference, dari Kedutaan Besar RI di Singapura
- Jumlah Utang : Rp157.728.072.143,47
2. Obligor a.n. Setiawan Harjono/Hendrawan Harjono
- Tidak Hadir
- Obligor dipanggil dalam rangka PKPS Bank Aspac
- Jumlah Utang : Rp3.579.412.035.913,11
3. Debitur a.n. PT ERA PERSADA
- Tidak Hadir
- Jumlah Utang : Rp130.570.056.944,80
4. Obligor/Debitur a.n. Ronny H.R. (PT TPN)
- Hadir memenuhi panggilan
- Jumlah Utang : Rp2.612.287.348.912,95
Pemanggilan 15 September 2021
1. Obligor/Debitur : Sujanto Gondokusumo (Bank Dharmala)
- Pemanggilan ke II - tidak hadir
- Jumlah Utang : Rp.904.479.755.635,85 (termasuk biad)
2. Obligor/Debitur : Sjamsul Nursalim
- diwakili kuasa hukum dan sudah legalisasi KBRI Singapura
- Jumlah Utang : Rp.517.723.869.934,70
Pemanggilan 16 September 2021
1. Obligor/Debitur : Kwan Benny Ahadi
- belum hadir, namun sdh ada komunikasi dgn Satgas BLBI
- Kehadiran akan dijadwalkan ulang pada Kamis, 23 September 2021
- Jumlah Utang : Rp157.728.072.143,47 (termasuk BiAd)
2. Debitur : PT KOBAME SUPER SENTRA
- Dihadiri Sdr. Peter Darmawan (Wakil Direktur Utama)
- Jumlah Utang : Rp1.002.931.570,05 dan USD2.598.476,65
Pemanggilan 17 September 2021
1) PT Usaha Mediatronika Nusantara
- Andrus Roestam Moenaf
- Pinkan Warrouw
- Nirwan Dermawan Bakrie
- Indra Usmansyah Bakrie
- Anton Setianto
(debitur Bank Pute Multikarsas)
Jumlah Utang: Rp Rp 22.677.129.206
2) - PT Jakarta Kyoei Steel Works Ltd Tbk
Jumlah Utang : Rp 86.347.894.759
- PT Jakarta Steel Megah Utama
Jumlah Utang: Rp 69.080.367.807
PT Jakarta Steel Perdana Industry (eks debitur Bank Global Internasional)
Jumlah Utang: Rp 69.337.196.123
- Thee Ning Khong
Jumlah Utang Rp 90.667.982.747
- The Kwen le
Jumlah Utang Rp 63.235.642.484
Pemanggilan 24 September 2021
Suyanto Gondokusumo, jumlah hutang Rp 904,47 miliar atau tepatnya Rp 904.479.755.635,85. Suyanto dipanggil dalam rangka penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) Bank Dharmala.