Mengulik Ekspor Listrik 100% PLTS Atap Saat Pasokan Melimpah

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
Selasa, 21/09/2021 16:40 WIB
Foto: Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). (CNBC Indonesia/ Andrean Krtistianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Setidaknya sampai tahun 2025 ditargetkan ada penambahan kapasitas 3,6 Giga Watt (GW) dari PLTS Atap.

Demi menggencarkan PLTS Atap, pemerintah tengah merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).

Salah satu poin yang direvisi adalah mengenai ketentuan ekspor listrik ke PT PLN (Persero), yang mulanya dibatasi 65%, direvisi menjadi 100%.


Namun di sisi lain, kondisi pasokan listrik di Tanah Air ini kini tengah berlebih (oversupply), terutama ketika permintaan listrik masyarakat masih rendah saat dihantam pandemi saat ini.

Lantas, wajarkah rencana perubahan aturan PLTS Atap di tengah kondisi oversupply listrik saat ini?

Menjawab hal ini, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Mulyanto menyebut bahwa draft perubahan Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS Atap ini masih perlu disempurnakan, khususnya yang mengatur ekspor impor listrik dari pengguna tenaga surya ke PLN sebesar 1:1.

"Terkesan tidak adil, Permen ini hanya akan menguntungkan industri, bisnis dan perumahan mewah, namun menjadi beban untuk PLN," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (21/09/2021).

Dia mengatakan, memang ketentuan ini bagus untuk mendorong produksi listrik dari Energi Baru Terbarukan (EBT), serta mempercepat pencapaian target bauran energi baru terbarukan menjadi 23% pada 2025 mendatang. Dengan aturan ekspor impor tersebut, maka pengguna PLTS akan semakin bersemangat.

Namun, lanjutnya, bila ini dibiarkan hanya di daerah-daerah surplus listrik, maka ini akan membebankan PLN.

"Namun kalau sasaran regulasi ini adalah pelanggan di wilayah Jawa-Bali-Sumatera yang surplus listrik, maka PLN akan buntung," sesalnya.

Penambahan kapasitas listrik dari PLTS Atap hingga 3,6 GW inilah yang membuat buntung. PLN, imbuhnya, tidak memerlukan tambahan produksi di wilayah yang listriknya oversupply.

"Sebab jumlah biaya yang harus dibayar oleh PLN lumayan sekitar 3,61 GW. Padahal PLN tidak memerlukan tambahan produksi di wilayah-wilayah surplus listrik," lanjutnya.

Sementara itu, berdasarkan data PLN, pada semester I 2021 tercatat beban puncak kelistrikan telah berada di atas 27 ribu Mega Watt (MW) dengan beban puncak tertinggi terjadi pada 8 Juni 2021 sebesar 27.335 MW. Sebelumnya pada 2020, beban puncak kelistrikan Jawa Bali hanya berada di angka 26 ribu MW.

Adapun daya mampu listrik PLN saat ini mencapai 57 Giga Watt (GW) dan bahkan akan meningkat lagi dengan mulai beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 35 GW pada tahun-tahun mendatang.

Berdasarkan data Statistik PLN 2020, total kapasitas terpasang nasional termasuk pembangkit sewa dan pengembang listrik swasta (IPP) adalah 63.336,12 Mega Watt (MW). Sementara beban puncak pada 2020 mencapai 40.059,74 MW, turun 3,87% dibandingkan tahun sebelumnya. Beban puncak sistem interkoneksi Jawa Bali mencapai 24.420 MW, turun 8,40% dari tahun sebelumnya.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: DPR Bicara Nasib Pembangkit Nuklir - Prospek Danantara di EBT