Internasional

Titik Nol 9/11 & Anggaran Bombastis Perang AS Rp 113.800 T

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 September 2021 11:31
Seorang tentara Angkatan Udara AS melatih anggota Polisi Angkatan Udara Kerajaan Saudi cara menggunakan peralatan untuk melawan serangan pesawat tak berawak di Pangeran Sultan Pangkalan Udara dekat Riyadh, Arab Saudi, Rabu, 10 Februari 2021, (U.S. Air Force/Senior Airman Leala Marquez, via AP)
Foto: Seorang tentara Angkatan Udara AS melatih anggota Polisi Angkatan Udara Kerajaan Saudi cara menggunakan peralatan untuk melawan serangan pesawat tak berawak di Pangeran Sultan Pangkalan Udara dekat Riyadh, Arab Saudi, Rabu, 10 Februari 2021, (U.S. Air Force/Senior Airman Leala Marquez, via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - 11 September 2001 adalah hari yang mengguncang dunia. Kala itu, empat pesawat komersial yang dibajak kelompok Al-Qaeda menabrakkan diri di sejumlah lokasi di Amerika Serikat (AS).

Dua di antaranya menubruk gedung World Trade Center, New York. Satu di kantor Kementerian Pertahan AS (Pentagon), dan satu lagi di sebuah lapangan Stonycreek Township (Pennsylvania).

Akibat serangan itu, ribuan nyawa melayang. Terdiri dari 2.977 orang korban dan 19 dari pihak Al-Qaeda. Ini adalah korban jiwa terbanyak dalam sebuah serangan teror.

AS pun murka dibuatnya. Presiden AS kala itu, George Walker Bush, menumpahkan amarah itu dalam pidato di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

"Kami mengetahui bahwa beberapa kejahatan terlalu berat hingga melanggar asas kemanusiaan. Kami menegaskan bahwa serangan dan ambisi semacam ini harus dilawan sedini mungkin sebelum mereka mengancam kita semua. Iblis telah kembali," tegas Bush.

Tragedi 11 September (atau 9/11) adalah titik nol perang AS (dan sekutunya) melawan terorisme. War on Terror, begitu slogan yang digaungkan Negeri Adidaya.

War on Terror diawali dengan menyerbu Afganistan. Saat itu, negara tersebut tengah dikuasai kelompok Taliban (yang kini kembali ke pucuk kekuasaan). Taliban dituding melindungi Osama Bin Laden, bos besar Al-Qaeda.

Setelah Taliban berhasil dijatuhkan, AS melanjutkan misi ke Irak. Washington menuding rezim Saddam Hussein punya hubungan dengan Al-Qaeda sehingga harus ikut ditumbangkan.

Setelah Osama Bin Laden terbunuh di Pakistan pada 2011, musuh baru AS adalah kelompok Negara Islam Irak-Levant (ISIS). War on Terror pun berlanjut, sampai sekarang.

Halaman Selanjutnya --> Perang Makan Korban Nyawa dan Harta

Namanya perang pasti ada korban jiwa. Total kematian akibat War on Terror dalam 20 tahun terakhir ditaksir mencapai 900.000 orang.

Tidak hanya nyawa, War on Terror juga menguras sumber daya. Perang itu mahal, bung. Harga sebuah kemenangan tidaklah murah.

Mengutip kajian Brown University, total biaya yang dikeluarkan AS selama War on Terror mencapai US$ 8 triliun. Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.225 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) 10 September 2021, nilainya adalah Rp 113.800 triliun.

Sebagai perbandingan, nilai ekonomi Indonesia yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020 adalah Rp 15.434,2 triliun. Artinya, AS sudah keluar duit lebih dari tujuh kali lipat PDB Indonesia.

"Perang ini sudah terlalu lama, mengerikan, dan tidak berhasil. Perang masih berlangsung dan melibatkan lebih dari 80 negara," tegas Catherine Lutzm Guru Besar Brown University.

Presiden Joepsh 'Joe' Biden menyadari bahwa War on Terror sudah terlalu lama dan mahal. Oleh karena itu, Biden berkeras untuk menarik pasukan AS dari Afganistan.

"Kami tidak lagi punya tujuan jangka panjang dalam misi di Afganistan. Setelah lebih dari US$ 2 triliun yang dikeluarkan di Afganistan, warga AS harus mendengar ini. Saya tidak mau mengirim putra-putri AS ke perang yang seharusnya sudah lama selesai," tegas Biden, seperti dikutip dari Reuters.

Meski nantinya War on Terror berakhir, tetapi beban anggaran AS masih berlanjut. Pemerintah AS tetap harus mengeluarkan uang US$ 2,2 triliun untuk membiayai para veteran dan memperbaiki kerusakan lingkungan.

"Apa sebenarnya yang sudah kita capai selama 20 tahun setelah 9/11? Berapa harga yang harus kita bayar? Dua puluh tahun dari sekarang, kita masih menghadapi konsekuensi dari perang di Afganistan dan Irak," kata Stephanie Savell, Senior Research Associate di Watson Institute, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular