Ada Skema Jual Beli Listrik PLTU Ini, Beban PLN Makin Besar!

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
Kamis, 09/09/2021 13:35 WIB
Foto: PLTU Tanjung Jati B (Dok. PLN)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) saat ini tengah mengalami kelebihan suplai listrik akibat turunnya konsumsi selama masa pandemi Covid-19. Meski konsumsi masih lemah, namun PLN tetap harus membeli listrik dari pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) sesuai dengan perjanjian jual beli atau Power Purchase Agreement (PPA).

Skema tersebut dikenal dengan nama "Take or Pay" (TOP) alias ambil atau bayar denda. PLN mau tidak mau harus tetap mengambil listrik atau membayar denda kepada IPP bila pasokan yang diambil tidak sesuai dengan kontraknya.

Mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Prof. Mukhtasor mengatakan, skema TOP ini tidak adil bagi PLN. Pasalnya, melalui skema ini tidak ada upaya berbagi risiko di dalam berbisnis.


"Padahal masa depan itu selalu dinamis, perubahan bisa sewaktu-waktu," ungkap Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) ini kepada CNBC Indonesia, Kamis (09/09/2021).

Dia menjelaskan, skema TOP ini membuat PLN tidak bisa memitigasi risiko dengan baik. Kondisi ini menurutnya membuat PLN bisa kesulitan memilih mengoperasikan pembangkit yang biaya produksinya murah, karena harus menyerap yang sudah terkontrak melalui skema TOP tersebut.

"Ini berarti, risiko tidak terserapnya listrik oleh pelanggan karena perlambatan ekonomi sepenuhnya ada di PLN, bukan di IPP swasta atau asing," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, kondisi ini akan menjadi beban bagi negara, karena negara mengeluarkan kompensasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menutup kerugian oleh pemborosan seperti itu.

"Itu artinya, rakyat pelanggan PLN yang dirugikan," tegasnya.

Jika kompensasi ditanggung oleh APBN, imbuhnya, maka kemampuan APBN membiayai program untuk rakyat yang kini sedang susah akan berkurang. Menurutnya, saat ini beban yang ditanggung APBN sudah berat, apabila sudah tidak bisa menanggung, maka akan ada risiko kenaikan tarif listrik.

"Kalau beban APBN sudah terlalu berat, maka akan ada risiko kenaikan tarif listrik yang akan membuat rakyat semakin susah, perekonomian akan terganggu," tegasnya.

Hal senada sebelumnya disampaikan oleh Direktur Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia (UI) Eko Adhi Setiawan. Dalam webinar yang diadakan IESR, Selasa (31/08/2021), dia mengatakan banyak pihak yang mengusulkan agar skema TOP ini dikendalikan.

Karena dalam hal ini IPP sudah untung. Skema TOP menurutnya perlu ditinjau kembali agar tidak memberatkan PLN.

"Ini susah sekali, ini banyak hantunya, gede-gede dan tokoh-tokoh nasional juga," imbuhnya.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PLTU Bertambah, Energi Terbarukan Tetap Jadi Prioritas