
Waduh! Gara-gara Skema TOP Listrik Ini, APBN Tekor Terus

Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) terikat perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/ PPA) dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producers/ IPP), khususnya dengan pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.
Dalam kontrak jual beli ini, salah satu yang diatur adalah mengenai denda. PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak, atau biasa disebut skema "take or pay" (TOP).
Namun kini permintaan listrik melesu tidak sesuai target awal karena adanya pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu. Akibatnya, pasokan listrik pun melimpah. Di tengah kondisi ini, karena ada skema penalti berupa TOP tersebut, maka mau tidak mau PLN harus tetap membeli listrik dari para pengembang listrik swasta tersebut.
Mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Prof. Mukhtasor, berpandangan kondisi ini bisa membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tekor. Pasalnya, negara akan mengeluarkan kompensasi yang berasal dari APBN untuk menutup kerugian akibat pemborosan ini.
Menurutnya, pemerintah mestinya tahu jika skema TOP ini membebani negara, dan mestinya pemerintah mencari jalan keluar dari skema TOP ini, bukan ditanggung PLN sendiri.
"Kalau harga lebih dari tarif yang wajar, pasti kompensasi kelebihan wajar ditanggung APBN. Artinya kewenangan negara, kewenangan pemerintah karena keluarkan duit APBN," papar Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) ini kepada CNBC Indonesia, Kamis (09/09/2021).
Lebih lanjut dia mengatakan, jika sudah tahu biaya kompensasi atau subsidi terus naik, mestinya pemerintah mencari cara agar APBN tidak boncos, sehingga alokasi APBN bisa dialokasikan ke hal-hal yang lebih tepat.
Saat ini, imbuhnya, masih banyak masyarakat yang belum punya akses listrik. Menurutnya lebih baik APBN dialokasikan ke arah sini daripada memahalkan harga dengan skema TOP.
"Kalau tahu ini kok biaya subsidi apa kompensasi naik terus mestinya dia (pemerintah) cari cara supaya uang untuk bantu rakyat. Banyak rakyat belum punya akses listrik," ungkapnya.
Jika tidak dicarikan jalan keluar, maka menurutnya pelanggan PLN yang akan dirugikan. Jika kompensasi ditanggung APBN, maka kemampuan APBN membiayai program untuk rakyat yang kini sedang susah akan berkurang.
"Kalau beban APBN sudah terlalu berat, maka akan ada risiko kenaikan tarif listrik yang akan membuat rakyat semakin susah, perekonomian akan terganggu," tegasnya.
Perlu diketahui, pemerintah menganggarkan subsidi listrik sebesar Rp 56,5 triliun pada 2022, turun 8,13% dari proyeksi subsidi listrik pada 2021 sebesar Rp 61,53 triliun.
Rencana subsidi tersebut tercantum dalam Buku Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, dikutip Senin (16/08/2021).
Sejak 2017 sampai 2020 tren subsidi listrik mengalami peningkatan rata-rata sebesar 6,5%. Pada 2017 subsidi listrik sebesar Rp 50,59 triliun, lalu naik menjadi Rp 61,10 triliun pada 2020.
Dalam outlook tahun 2021, subsidi listrik diperkirakan mencapai Rp 61,53 triliun.
"Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh adanya kebijakan pemberian diskon listrik di tahun 2020-2021 dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19," bunyi pernyataan Nota Keuangan 2022 tersebut.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Skema Jual Beli Listrik PLTU Ini, Beban PLN Makin Besar!
