Jakarta, CNBC Indonesia - Cukai hasil tembakau alias rokok masuk dalam pertimbangan pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara pada tahun depan. Di sisi lain, rokok berpengaruh sangat buruk terhadap kesehatan di tengah pandemi covid-19.
Hal ini tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022 yang dikutip CNBC Indonesia, Senin (16/8/2021)
"Intensifikasi dan ekstensifikasi cukai melalui pemberlakuan pengenaan cukai kantong plastik dan eskalasi kebijakan tarif cukai hasil tembakau dengan mempertimbangkan empat polar yaitu pengendalian penerimaan tenaga kerja dan dampak ke rokok ilegal," tulis dokumen tersebut.
Senada dengan itu, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas Pungkas Bajuri mengatakan, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 kenaikan cukai rokok sudah disetujui Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Instrumen cukai dianggap mampu untuk menurunkan prevalensi perokok di Indonesia. Target RPJMN prevelensi merokok anak-anak usia 10-18 tahun harus turun dari 9,1% menjadi 8,7% di 2024.
"Arahan Presiden sudah sangat jelas, cukai (tembakau/rokok) harus naik, tapi arahnya harus disimplifikasi," ujarnya dalam webinar pekan lalu.
Namun, yang saat ini perlu harus terus didiskusikan adalah mengenai berapa besaran tarif kenaikan yang perlu dilakukan setiap tahunnya. Sebab, tarif yang ditetapkan harus berdasarkan kesepakatan oleh banyak pihak.
"Tapi pertanyaannya sampai sejauh mana disimplifikasi dan sejauh mana itu akan dinaikkan harganya. Itu lah yang perlu kita sepakati," imbuhnya.
Saat dikonfirmasi mengenai rencana kenaikan cukai tahun ini, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani enggan menjelaskan dengan detail. Ia meminta untuk menunggu pengumuman dilakukan secara resmi.
"Nanti sabar ya, tunggu resminya dari pemerintah," ujarnya kepada CNBC Indonesia.
Halaman Selanjutnya >> Cukai Rokok Disarankan Naik 20%
Tarif cukai hasil tembakau (CHT) disarankan naik di atas 20% untuk tahun depan. Begitu juga dengan harga jual eceran (HJE) rokok.
Ekonom Abdillah Ahsan sekaligus Direktur SDM Universitas Indonesia mengungkapkan, kenaikan yang tinggi perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat prevalensi perokok saat ini, terutama pada kalangan anak di bawah umur.
"Naikkan cukai rokok di atas 20% lalu berlakukan simplifikasi sampai dua golongan, saya yakin Pemerintah Indonesia akan merasakan keuntungannya, baik dari sisi berkurangnya beban ekonomi kesehatan akibat konsumsi rokok, juga dari sisi solusi krisis ekonomi di masa pandemi saat ini," ujarnya dalam webinar Kamis (12/8/2021).
Sebagai informasi, biaya pengobatan akibat penyakit yang dikarenakan rokok per tahunnya sangat besar. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2019, rata-rata biaya pengobatan untuk penyakit yang disebabkan oleh rokok mencapai Rp 27,7 triliun per tahun.
Chief Strategist of Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) dr. Yurdhina Meilissa mengatakan, dari rata-rata biaya pengobatan yang dikeluarkan tersebut, lebih dari 50% ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Artinya, biaya akibat rokok ditanggung oleh pemerintah yang diberikan ke BPJS.
Ini tentu tidak sebanding dengan alokasi dari penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) ke biaya kesehatan melalui Dana Bagi Hasil dan sebagainya hanya sekitar Rp 7,4 triliun pada tahun yang sama.
"Artinya beban keluar tiga kali lipat dibandingkan yang dialokasikan," sambungnya di webinar yang sama.
Sementara itu, dari hasil survei yang dilakukan Center for Economic and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran pada tahun 2017 silam menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat penggunaan tembakau baik secara langsung dan tidak langsung mencapai Rp 531 triliun. Jauh lebih besar dari penerimaan CHT pada tahun tersebut yang hanya Rp 147 triliun.
"Jadi kita sudah bisa lihat bahwa dampak kerugian dari penggunaan rokok jauh lebih besar dari keuntungannya," tegas Peneliti CEDS Universitas Padjadjaran Estro Dariatno Sihaloho.